1/4/11

Menseriusi Profesi WTS

Menulis adalah dunia saya, sayangnya saya belum mengalokasikan waktu khusus untuk menseriusi ilmunya. Ya jadinya begini ini, isi tulisannya lebay, lebay dan lebay. Berbeda dengan di Semboyan35 yang hobi saya ngejunk demi mendapat predikat Parahyangan (dan belum kesampaian sampai hari ini), di Kompasiana saya lebih enjoy untuk membaca-baca dan komentar sekadarnya.

Memang dasarnya saya bukan railfan si, kagak nyambung mah ngobrol soal knowladge kereta api tetek bengeknya, saya cuma seorang penikmat perjalanan kereta api saja.

Sekali saya ikut blogshopnya Kompasiana, waktu itu di JEC, disambut Mas Inu, wartawan istana idola saya (Nanti kalau saya jadi Presiden, Mas Inu saya panggil lagi mas ke Istana, hehe) dan disitu pula saya mengenal istilah WTS.

Sayang saya tidak sempat memfoto (karena memang tidak bawa kamera) wanita yang mengenalkan dirinya sebagai WTS sekaligus membuka paradigma saya bahwa saya sebenarnya bisa juga jadi WTS. Hm, Wartawan Tanpa Status (Social Journalist), itu sejatinya seorang Kompasianers. Meliput berita dengan berimbang, menyampaikannya dengan bahasa yang bebas dan segar, bebas tekanan dari manapun, baik itu politisi, kalangan industri atau sekte apapun.

Menjadi wartawan tanpa status, tanpa surat kabar, tanpa deadline, tanpa honor, tanpa seleksi naskah, itu menyenangkan. Hm, mau memperbanyak proporsi tulisan2 reportase ah...

No comments:

Post a Comment