2/4/12

Apresiasi Nomor Satu, Order Nomor Dua

Ngomong-ngomong soal kepekaan, aku punya cerita. Ceritanya aku mengirim pesan ke seorang kawan lama yang sudah lama sekali tidak berkomunikasi, singkat, tapi jleb : "kalau nikah nanti pesan undangannya ke aku ya".

Agak kurang enak di hati ketika aku baca jawabannya : "nggak janji ya, soalnya nanti pasti banyak pertimbangan".

Sebegitu matrenyakah aku, sebegitunyakah aku artikan jaringan pertemanan hanya sebatas jaringan market? Ya, ini zaman memang zaman dimana kepekaan sudah sedemikian tipis, apalagi semakin dipertipis oleh bercokolnya fakultas-fakultas yang kian bertambah jumlah, ragam dan biayanya setiap tahun. Sampai-sampai orang lebih bangga dikenal sebagai apa disiplin ilmunya, ketimbang sebagai namanya sendiri.

Twit untuk kawan lamaku itu sejatinya bukan twit penawaran, sekalipun ada efek samping yang aku harapkan adalah bisa dapat order nantinya. Tapi esensinya, twit itu adalah sebuah metafor saja. Sama seperti kalimat "matahari mulai tergelincir, pertanda senja telah datang".

"Kalau memang metafor, apa isi substansialnya memang di twitmu itu ki?". Isinya, pertama :
1. Pengharapan berlapis doa semoga segera dimudahkan menuju pernikahan
2. Memperkenalkan diri, bahwa sekarang ini loh usaha yang sedang aku jalani
3. Kalau ada respect untuk meng-order, misalnya dijawab "oh, usaha percetakan sekarang kamu? wah boleh-boleh, bisa diatur nanti.." itu tandanya masih diakui & dianggep sebagai teman

Sebenarnya yang berharga dari order yang diberikan oleh teman sendiri adalah apresiasinya, bukan nominal margin keuntungannya. Hal ini juga yang dilakukan Ibu dan Bapakku, seringkali memberi order, tanda mengapresiasi apa yang sedang aku kerjakan walau masih kecil. Dan akupun senang hati mengerjakannya, walau cuma untung lima ribu perak saja.

Haha, aku kalo menulis di blog tidak tedeng aling-aling. Mudah2an, base of story yang aku angkat di postingan ini tidak mampir kesini.


No comments:

Post a Comment