2/4/12

Kalah Lebih Indah

Sewaktu kecil aku suka sekali bermain petak umpet tradisional yang dibeberapa daerah termasuk di daerahku dikenal dengan permainan "Lithongan". Tutorial permainannya kira-kira begini : beberapa orang berkumpul di halaman sekolahan atau lapangan lalu melakukan hompimpah. Satu orang menjaga sebuah kaleng yang diisi batu, istilahnya "jaga lithong" sedangkan anak-anak lainnya pergi bersembunyi. Sambil menjaga kaleng itu, dia berkewajiban mencari teman-temannya yang sedang bersembunyi satu persatu sampai ketemu semua.

Tapi jangan pergi jauh-jauh dari kaleng, karena kalau pada saat pergi agak jauh, tiba-tiba ada anak yang bersembunyi mengendap-endap mendekati kaleng, kemudian berlari, kemudian menendang itu kaleng sampai berbunyi. Maka semua akan keluar dari persembunyian dan dia harus berjaga lagi : permainan diulang.

Kalau pas kebagian jaga lithong, aduh rasanya sedih. Apalagi kalau sudah menemukan beberapa orang, eh kaleng ditendang, aduh mengulang lagi deh.

Tapi sedihnya jaga lithong itu lebih ringan, ketimbang kesedihan yang dirasakan ketika kita menang hompimpah, dan teman lain yang jaga. Sementara dia berulang kali menemukan, berulang kali ditendang kalengnya, jadi permainan reset lagi reset lagi... aduh kasihan ya, batinku. Terlebih kalau aku dalam posisi dilematis, disatu sisi kasihan dia sudah jaga lithong begitu lama, tapi disisi lain lithong dalam jangkauanku untuk aku tendang.

Itulah, kalah bisa jadi sedih, tapi kesedihan itu tidak seberapa dibanding kesedihan kita melihat orang lain kita kalahkan.

Pola itu terbawa sampai dewasa. Ketika aku belum bisa membeli mobil, rumah & tanah seperti teman-teman se-liftingku. Aku sedih. Tapi kesedihan itu belum seberapa, ketimbang rasa sedih melihat teman-teman lain terlilih hutang, sedangkan aku tidak.

Agak susah diceritakan tentang indahnya kekalahan ini. Tapi, silahkan rasakan sendiri. Saat kau kalah, saat kau menang, saat temanmu mengalahkanmu, saat kau mengalahkan temanmu.


No comments:

Post a Comment