Di seberang jalan sebuah Alfamart saya termenung, menatap kosong ke arah benderangnya minimarket itu. Bukan kepengen es krim, bukan. Entahlah, tiba-tiba melintas dipikiran saya...
"Wahai...., aku telah gagal, aku sudah memeras terlalu banyak keringat orang-orang, sementara untuk satu pencapaian yang bisa membuat aman mereka, satupun belum dapat...", saya kesal pada diri saya sendiri, saya berburuk sangka pada-Nya.
Berapa menit berlalu, kekesalan itu tiba-tiba ada yang membalas. Suara darimana itu yang membalas? Darimana lagi kalau bukan dari dalam diri saya sendiri. Betul, hati memang sensitif, bukan hanya sensitif tetapi juga cerdas.
"Lho, insfrastruktur antena setinggi itu, semahal itu? bekal buat laundry? kuliner? ternak? ...", panjang suara itu menjelaskan. Sungguh, saya jadi malu.
Atas dasar apa saya kesal, untuk hal apa saya menuntut? Dasar kurang bersyukur saja saya, itu yang sudah saya alami, sudah saya terima, sudah lebih dari apapun. Heumh, istighfar, hamdalah, dengan lembut saya bisikkan tanpa saya ucapkan.
Dari hati yang tadinya suntuk, merasa bersalah, penuh tuntutan, tiba-tiba berubah jadi bisikan "cukup...cukup..", terima kasih dan damai.
Lalu, saya menoleh ke kanan, tidak lebih dari 90 derajat, ke arah orang yang sedang berbincang-bincang. Wah, kaget saya, ternyata Pak Kudus, Pak Camat saya. Seorang yang dari dulu saya niatkan untuk ketemu tapi tidak pernah ketemu. Dan akhirnya kami ngobrol ngalor ngidul, dari Curug Gumawang sampai ke Jepang. So inspiring obrolan saya di pinggir jalan itu dengan sesama alumni EU itu..
Dan sate ayam yang saya pesanpun matang... Sungguh luar biasa, membalik kejengkelan menjadi ungkapan syukur ternyata mendatangkan Pak Kudus dan Sate Ayam.
No comments:
Post a Comment