10/8/09

Makelar Sedekah

Beberapa waktu yang lalu seorang teman baik saya (memang ada teman yang tidak baik? Ada) mengirim SMS, "kaos peduli gempa bisa dipakai lagi". Ada-ada saja ni anak, tapi memang betul, kaos yang dulu dibagi-bagikan pada saat peduli Gempa Yogya, kemarin bisa dipakai lagi di Tasik dan bisa dipakai lagi di Padang.

Gempa, membaca sejuta cerita, salah satunya adalah cerita penyalur sumbangan di perempatan-perempatan yang ada di tanah Jawa. Banyaknya makelar sedekah macam ini memungkinkan seseorang bisa menyumbang lebih dari satu kali untuk membantu korban gempa, di alun-alun, di perumahan, di kampus dan lewat stasiun TV misalnya.

Terbesit pertanyaan, mana ya yang lebih mulia, seorang yang menjadi penyalur sedekah orang-orang, atau saya pribadi (nama saya bukan pribadi) suka menyebutnya makelar sedekah, atau orang yang menyumbang?


“(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya” (QS. 61:11)

Ya, harta lebih di depan dibanding diri, itu kata seorang ulama dalam berjihad, yang beliau saat itu analogikan "nyumbang duit kui lebih abot nimbang nyumbang tenaga".

Nah, bukan maksud saya menghakimi, tetapi bagaimana dengan contoh-contoh kasus, seorang makelar sedekah yang menilai orang yang memberi ketika dia mintai sumbangan lebih mulia ketimbang yang tidak menyumbang? malahan bergumam "huh, dasar pelit". Atau kasus lainnya, yakni merasa sudah sangat beramal ketika bisa mengumpulkan banyak sumbangan? dan mungkin merasa sudah bisa ditukar dengan tiket surga amal itu.

Maka, jadilah makelar yang baik. Kalaupun misal, tidak jadi makelar, tetapi bersungguh-sungguh memampukan diri menjadi orang yang mempu memberi (dalam jumlah banyak) baik melalui makelar, lebih berat mana tuh timbangan amalnya? Apalagi kalau dia juga menyalurkan sendiri itu sedekahannya sendiri (dia menjadi makelar juga), gimana tuh?

No comments:

Post a Comment