Pernah berkunjung ke Masjid Demak? saya pernah beberapa kali kesana. Konon diceritakan masjid itu dibangun oleh para wali, karena pada waktu itu mungkin kontraktornya lupa menghitung jumlah kebutuhan tiangnya, dikisahkan di tengah pembangunan semua kebingungan karena kayunya habis dan tiangnya masih kurang satu.
Akhirnya seorang wali berinisiatif, dibuatlah tiang dari bahan baku "tatal". Kalau orang kota mungkin tidak tahu tatal, tatal adalah potongan-potongan kayu sisa yang dibuang, ya, tatal sebenarnya sudah menjadi sampah. Tetapi sang wali memang cerdas, disusunlah tatal-tatal itu hingga akhirnya bisa menjadi tiang dan berdirilah Masjid Agung Demak yang megah itu. Masjid yang mengisyaratkan pesan pada kita bahwa ternyata para wali saat itu sangat menjunjung syariat, bukannya tidak sholat, bukan juga sholat asal2an dirumah, tetapi sampai membangun masjid, bukan masjid kecil pula, tapi masjid yang pada akhirnya oleh pemerintah republik ini diberi gelar sebagai Masjid Agung.
Tatal tadinya hanya sampah, tetapi akhirnya berguna, seperti itu pulalah mekanisme kritik bekerja. Kritik itu sampah, tapi akhirnya bisa berguna, bisa juga tidak. Bergantung apa kritik itu berguna dan tidak berguna? Seperti tatal menjadi berguna karena dikelola oleh orang yang cerdas, kritikpun begitu. Kalau kritik sampai ke orang yang belum menyiapkan dirinya untuk cerdas menanggapi kritik itu, maka sia-sia belaka bahkan berdampak sistemik kritik itu.
Sampah itu tidak disukai, bukan? Begitu juga kritik, siapa yang suka dikritik. Kritik itu menyakitkan, karena itu pelajarannya, lebih baik tidak usah mengkritik. Loh, kalau tidak mengkritik, lalu bagaimana donk? Ya, inilah tantangan untuk kita sebelum memutuskan untuk tega melemparkan sampah ke muka orang, untuk sampai hati melontarkan kritik. Tantangan kita adalah bagaimana menemukan mekanisme terbaik untuk membantu orang lain memperbaiki dirinya.
Mulai sekali upaya itu, karena tidak asal "njeplak" kita, tetapi niat kita untuk membantu memperbaiki orang dibarengi dengan upaya pikir yang sungguh-sungguh agar orang itu bisa optimal terbantu. Kalau ada orang mengatakan "Loh, saya mengkritik dia karena sedang membantu dia", dikoreksi lagi coba, jangan-jangan itu cuma dalih, dalih dari kita yang enggan sungguh-sungguh membantu dia, cuma setengah hati, atau jangan-jangan malah cuma lampiasan emosi diri saja yang kebetulan waktu itu bisa melihat kejelekan orang lain dan merasa itu adalah kesempatan mengungkapkannya.
Tentu banyak cara orang untuk bersungguh-sungguh membantu orang lain memperbaiki dirinya tanpa harus melemparkan sampah bernama kritik, setiap orang punya kreativitas dan kedalaman berpikirnya masing-masing mungkin. Ditengah keterbatasan kecerdasan saya, saya ingin sampaikan satu saja alternatif cara yang menurut saya ini adalah cara membantu orang lain memperbaiki dirinya bukan seperti melempar sampah, tetapi seperti menyuguhkan seporsi "lumpia boom" pada orang yang memang sedang lapar.
Saya tidak tahu istilahnya apa, ya, mekanismenya begini, kita membantu orang lain melabeli dirinya sendiri sebagai diri yang lebih baik sebagaimana yang diharapkan semua orang. Contoh pendeknya begini :
"Wah, saya tahu Anda mempunyai potensi public speaking yang memukau, selamat mencoba tantangan", padahal dalam hatinya orang itu tahu kemampuan public speakingnya masih pas-pasan, dan potensinya juga belum tentu besar, yang dia maksud potensi hanyalah semangat yang nampak di muka orang itu dia ingin menjadi seorang public speaker, nah, itu kan potensi juga. Tetapi akibat kalimat itu, si orang itu menjadi semangat dan percaya diri untuk mencoba, mencoba dan mencoba, karena orang yang memberi kritikpun tahu, cara memperbaiki kemampuan public speaking itu bukan dengan membaca banyak-banyak tetapi dengan appliying sering-sering.
Coba, tidak menyakitkan, tetapi menyuguhkan yang dibutuhkan. Ya, orang itu membutuhkan orang yang mau membantu menguatkan label diri orang itu sebagai seorang public speaker handal.
Atau contoh lainnya,
"Wah, saya tahu Anda sudah berubah, lah kok masih ngeledek saya", padahal orang yang mengkritik itu tahu orang itu sebetulnya belum benar-benar berubah, hanya dia pernah dengar orang itu pernah 'nyemlong' berkeinginan untuk berubah, yang itu juga kedengaranya omong doang. Tetapi akibat kalimat itu, dia jadi malu kalau sudah dibilang berubah eh tampil dihadapan sang pengkritik dengan sikap yang lama. Akhirnya ia memaksakan diri deh untuk berubah, walau tidak enak, dan karena terus dia memaksakan diri, akhirnya orang itu benar-benar berubah menjadi lebih baik.
Nah, ada gambaran ya sekarang? Karena itu jangan pernah mengkritik, kecuali terpaksa, kecuali kepepet, kecuali waktu mendesak, selama masih ada waktu untuk berpikir, pikirkanlah ungkapan terbaik yang bisa membantu orang yang ingin kita bantu untuk memperbaiki diri itu menempelkan 'label diri positif' terhadap dirinya sendiri.
Karena bukankah satu :selamanya orang tidak akan menjadi hebat kalau ia tidak bisa melabeli dirinya sendiri dengan label "Aku adalah Orang Hebat"? dan dua : persepsi orang lain memiliki pengaruh besar terhadap seseorang untuk menentukan label dirinya, maka arahkanlah segenap daya dan upaya untuk kita membangun persepsi positif yang mendukung orang itu mempersepsikan dirinya menjadi orang yang lebih baik sebagaimana yang kita harapkan.
Selamat bereksprerimen mencari cara-cara terbaik membantu orang lain memperbaiki dirinya daripada sekedar mengkritik.
No comments:
Post a Comment