1. Hal Sepele yang ternyata Tidak Sepele
Dulu pas di Bogor, jauh-jauh saya disuruh ke Cibubur oleh guru entrepeneur saya, katanya mau diajari kiat sukses berwirausaha, eh ternyata apa, disana kami cuma mendapati rumah-rumah kumuh dan gerobak jelek berjualan gorengan. Gorengan biasa, bukan gorengan spesial, ada molen, tahu dan sebangsanya. Kata metor saya waktu itu, beberapa bulan saya harus tinggal disitu kalau mau sukses jadi wirausaha.
Yah, gorengan saya juga bisa sendiri pak, begitu pikir saya, mana kumuh lagi tempatnya, Akhirnya saya cuma kesana sekali, tidak mbalik lagi.
Empat tahun berlalu, saya sudah pindah kota. Saya ketemu dengan beberapa pedagang kaki lima, awalnya terpukau saya dengan seorang mantan pembantu warung tenda dengan gaji 10.000 perhari yang akhirnya membuka kedai tempe penyet dan larisnya bukan main, bersih setengah juga sehari kecil lah keuntungan yang dia dapat. Begitu juga kali kedua saya melotot kagum menyaksikan sebuah warung sop buah tendaan yang katanya si pemilik sudah punya rumah empat, omzet tiga juga sehari mungkin nyampai dia.
Dan kali ketiga saya ketemu dengan pedagang molen dan tahu yang katanya bersih sehari bisa setor 300.000 kepada bosnya. Subhanallah. Pas waktu itu ditunjukkan oleh Pa Zainal bahwa molen dan tahu sekalipun makanan biasa, tanpa inovasi spesial bisa mengantarkan kami menuju sukses eh saya cuma geleng-geleng kepala, ogah, tidak mau. Sungguh sebuah pelajaran berharga.
2. Kecuali Membiarkan Berusaha Sendiri, Apapun yang Terjadi
Dari kisah di atas, saya jadi saat ini ingin sekali membuka molen dan tahu. Ada tiga pertimbangan utama, pertama : usaha yang general pangsanya lebih luas daripada usaha yang unik, sekalipun marginnya kecil. Kedua : soal prospek saya tidak tahu, tetapi soal resiko sangatlah rendah, paling digusur, kalaupun tidak laku adonan tidak seberapa. Ketiga : agar saya tidak kuwalat karena dulu dikasih jalan oleh mentor saya itu, eh saya malah bikin jalan sendiri.
Berangkat dari situlah saya sedikit ayem, ayemnya lagi sekalipun cashflow drop, meluncur jatuh, tidak ada yang protes apalagi menuntut saya. Semua tetap lapang dada walaupun sempit perut, hehe. Toh saya sudah berusaha, walaupun penialaian maksimal dan tidak maksimal toh sangat relatif, apalagi saya sudah membagi-bagikan ladang kepada semuanya tanpa terkecuali, tanpa saya menentukan, bebas, silahkan pilih yang sebelah mana dan mau seberapa luas.
Semua mungkin memahami, walau hasil yang diharapkan belum optimal tapi tidak mengeluh. Karena memang bukan saya yang menutup jalan si A atau si B, tetapi karena sudah dibagi-bagikan jalan, termasuk untuk saya sendiri, tinggal dievaluasi selama ini sudah cermat belum, sudah maksimal belum. Kalau misalnya ada alasan, saya tidak mood, lantas, apakah tetap "terhanyut" dalam perasaan sendiri, atau bagaimana membangun mood atau membuka lahan baru (dengan mengkomunikasikannya, agar lahan lama tidak terbengkalai) yang ada mood-nya disitu.
Orang Jawa bilang 'ora ina' untuk dua keadaan ini. Pertama : ora ina saya sudah memberi lahan, hasil mau maksimal atau sangat maksimal tergantung usaha masing-masing. Dan kedua : ora ini saya sudah berusaha, kok belum membuahkan hasil? Gusti Allah maha pengasih, tidak mungkin sedang mempersulit saya, pasti ada maksud dibalik semua ini.
No comments:
Post a Comment