10/13/11

Mono dan Tiyem

Menderes, its the truely life skill, beda dengan kurikulum life skill di sekolahan

Mono Penderes Nira, begitu kira-kira judul tayangan di Trans 7 bulan lalu dalam program "Orang Pinggiran". Ada lagi yang baru namanya Tiyem, seorang wanita berkebutuhan khusus tetangga rumahku, masuk lagi dalam program itu kemarin. 

Berkekurangan secara materi memanglah perlu disimpatiki, tapi yang lebih musti kita sadari lagi adalah bahwasannya seandainya ada gurat kesedihan, bukan kekurangan materi itu, tetapi silau gelamor dunia yang tersiar dari tabung-tabung berwarna bernama televisi. 

Program orang pinggiran ini bagus, manfaatnya banyak, diantaranya pertama, menyadarkan aku, Bapak-Ibuku dan tetangga-tetanggaku bahwasannya zakat fitrah setahun sekali belumlah cukup, keluargaku sanggup beli mobil sementara radius 5 km masih ada orang yang terpinggirkan macam Mono dan Tiyem itu, bahkan Tiyem tetangga 100 meter dibelakang rumahku.

Kedua, menyadarkan orang-orang kota yang biasa nongkrong minum kopi 40.000 segelas, atau yang selalu mengeluh tiap hari senin datang padahal gaji berikut pensiuannya lebih dari cukup untuk ke Dufan setiap hari bahwa kesederhanaan dan kekurangan masih mendera banyak orang nun jauh di pinggiran sana.

Ketiga, bagi televisi, setidaknya program seperti ini bisa mengurangi durasi sinetron-sinetron lebay yang merusak akal sehat.

Sekalipun program bagus, jangan njur kebablasan. Misalnya, Mono dikasihani karena kecil-kecil menderes nira. Lalu disolusii dengan menyekolahkannya gratis. Selesaikah masalah? Masalah "rasa kasihan" kita mungkin selesai, tapi kedepannya, siapa yang akan meneruskan life skill menderes? 

Lalu tayangan yang dilebih-lebihkan, aku tau persis kultur masyarakat di daerahku, karena aku dari lahir ya tinggal disitu. Dan sepanjang puluhan tahun aku menjadi anak-anak, aku tidak menemukan ada adegan dikucilkan seperti ini. 


Adegan sedang mengangsu air, dia dikucilkan teman2nya yang sedang bermain

Plis, kepada para pemilik TV, jangan ya nasib orang dikapitalisasi, didramatisir berlebihan demi tingginya rating. 


Dan yang terakhir, waspadalah, acara semacam ini jangan sampai jadi doktrinasi. Doktrinasi seperti iklan susu, yang kalau nggak minum susu tulang jadi rapuh, kita dilupakan kalau kita punya daya tahan tubuh dan daya bangun tubuh internal yang alamiah. Sama juga dengan program ini, jangan sampai jadi doktrinasi, bahwasannya kebahagiaan adalah jadi orang kaya di tengahan, sedangkan jadi orang miskin di pinggiran itu pasti tidak bahagia.

Jangan sampai pikiran kita tersetir, apalagi sampai ke wilayah Tauhid, hingga beranggapan Tuhan tidak adil membagikan kebahagiaan karena ada banyak orang terpinggirkan tanpa kebahagiaan. Bahwasannya Tuhan tidak adil, kucing saja diberi rejeki sedangkan orang pinggiran tidak kebagian jatah rejeki.

Mau orang tengahan, atau orang pinggiran, semua punya porsi rejeki dan kebahagiaannya masing-masing. Output terbaik dari acara ini adalah bagaimana orang pinggiran dan tengahan bisa saling berinteraksi, bersaudara satu sama lain, memberi satu dengan lainnya.

No comments:

Post a Comment