8/23/12

#29 Ramadhan : Krisis Apresiasi


Akhirnya Ramadhanpun berpamitan. Ada yang sedih ada yang bahagia, kira-kira begitu topik di banyak mimbar-mimbar qultum di masjid. Kalau zaman generasi sahabat mereka dulu menangis ketika Ramadhan hampir selesai, kalau kita tidak. Kalau kita disuruh untuk introspeksi, di hari2 terakhir Ramadhan ini dimaksimalkan kalau hari-hari kemarin yang sudah kita lakukan 'dirasa' belum maksimal.

Sangat pelit sekali sepertinya kita memberikan apresiasi, yang pelit bukan cuma orang biasa, mubaligh yang notabenenya ustadzpun begitu. Ketika pola berpikir kita digiring dengan kalimat 'barangkali kemarin belum maksimal mengisi hari2 puasanya', ya kita sebagai orang yang baik-baik, yang rendah hati, ya jelas merasanya belum maksimal. Akibatnya konsep dirinyapun merendah.

Berbeda kalau diberikan apresiasi, "bapak ibu luar biasa, bisa bertahan dengan puasanya, bisa menjaga selama berhari-hari tidak bergosip, bisa datang ke masjid setiap hari, ini luar biasa...", walau agak lebay ya misalnya seperti itu lah. Intinya bahwa orang diuwongke, merasa hal-hal sepele yang dilakukan selama ini diapresiasi, itu akan lebih membangun konsep diri yang baik.

Karena keluar Ramadhan, yang penting kan bukan ibadahnya stagnan persis kayak ramadhan, susahlah, karena suasananya beda. tapi minimal, orang konsep dirinya terupgrade, sehingga, apa yang misalnya sebelum ramadhan dhuha itu berat, sekarang jadi ringan. yang tidak pernah sholat malam, setidaknya sudah mulai bangun walau tidak rutin, dan lain-lain.

Bagi kita yang punya hak memegang mic di mimbar-mimbar pengajian, hati-hati berucap, jangan sampai merusak konsep diri jamaah. justru yang dilakukan harusnya membangun, dengan cara mengapresiasi, hinga hal-hal paling sepele sekalipun.

No comments:

Post a Comment