*Tulisan ini tidak ditujukan pada obyek dan subyek personal tertentu, tolong jangan dipersinggungkan ya, ambil baiknya saja... piss!!!!*
“Dalam tradisi Minangkabau, pada saatnya nanti seorang laki-laki harus meninggalkan kampungnya, untuk merantau, mencari pengalaman hidup”, begitulah salah-satu kutipan dalam sebuah film layar lebar “Merantau”.
Begitulah, setelah seorang anak beranjak lulus dari TK, maka setidaknya ada dua kriteria yang disiapkan orang tua untuk kelanjutan jenjang pendidikan anaknya selanjutnya, yakni SD, SMP dan SMA. Dua kriteria itu adalah, pertama dekatnya jarak dengan rumah tinggal dan kedua adalah seberapa favorit sekolah itu.
Maka, si anakpun tumbuh sebagai seorang remaja pilihan, yang mengenyam pendidikan dengan nyaman dan hidup di tengah keluarga yang damai. Namun, tantangan usia mengantarkan ia pada satu masa dimana ia harus meninggalkan bangku SMA, kemana selanjutnya? Perguruan tinggilah tempat terbaik. Memilih perguruan tinggi, apakah jarak masih jadi prioritas kriteria? Tidak, jarak sudah menjadi kriteria ke-17. Bagaimana dengan Favorit, itu prioritas kedua. Kini yang bermain hanya satu kriteria saja : keamanan masa depan.
Makanya, saat ini siapa yang membantah kalau perguruan tinggi terfavorit di negeri ini adalah perguruan tinggi Abdi Negara dan Ikatan Dinas? Jauh posisinya diatas Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung yang notabenenya masuk dalam deretan universitas terbaik di dunia kalau dilihat dari segi animo peminatnya.
Dari sisi si-anak, sebetulnya aspek yang menjadi kriteria prioritas rata-rata sama, yakni tingkat kesenangan. Seberapa menyenangkan si kampus dan jurusan itu? Hm, tentu masih ingat ketika kelas 1 SMA, berapa banyak dari anak-anak remaja siswa baru itu yang membenci pelajaran akuntansi, apalagi membenci aktivitas baris-berbaris.
Sebuah indikasi, bahwasannya secara tingkat kesenangan, perguruan tinggi Abdi Negara dan Ikatan Dinas jauh dibawah menariknya Teknik Informatika bagi seorang computerdicted atau Kimia Analis bagi seorang pecinta baju Laboratorium.
Dari sini saya tergelitik untuk mengusut lebih dalam, daya tarik apa gerangan yang membuat perguruan dari segi tingkat menyenangkan jurusan itu secara umum tidak menarik tetapi pemintanya berjubel luar biasa? Satu jawaban, orang tua berperan besar di sini.
Ada dua kemungkinan sudut pandang orang tua mengarahkan dan membentuk pola pikir anaknya agar si anak bisa menciptakan rasa senang dari dalam dirinya sendiri terhadap perguruan tinggi yang akan mengantarkan anaknya ke masa depan yang cerah, aman dan terjamin oleh bangsa dan negara ini.
Pertama, si orang tua memiliki tingkat kepasrahan luar biasa, sehingga hatinya ikhlas dan rela bahwa pada saat ulang tahun ke-18 anaknya, setelah itu berarti si anak sudah mempunyai kehidupannya sendiri, kuliah di tempat yang jauh, menemukan jodohnya sendiri, bekerja di tempat yang diperintahkan oleh negara, membangun rumah tangga disana, dan harus berjubel di stasiun dan bandara untuk sekedar pulang setahun sekali menjenguk dirinya. Begitu terus hingga hari tua tiba.
Atau kedua, si orang tua memiliki tingkat kecemasan yang luar biasa, sehingga si anak diarahkan untuk mencari jalan teraman, dibawah lindungan negara, karena hanya dengan itu masa depannya akan cerah, dengan insentif bulanan, asuransi kesehatan dan jaminan hari tua. Bukan hanya tidak percaya pada takdir bahwa jalan rezeki dari Tuhan itu sangat bervariasi, tetapi juga tidak percaya pada anak yang dia besarkan sendiri bahwa dia harus menikmati dahsyatnya gelombang fluktuasi kehidupan yang hanya akan ia alami sekali saja, dan bahwa ia lahir sebagai pemenang, maka dia dewasapun akan bisa menang pula.
Ya, orang tua sebetulnya mengetahui bahwa ada dua jalan yang bisa ditempuh anaknya, jalan aman dan jalan bebas. Tetapi ada dua pula sikap orang tua, mengarahkannya atau membiarkan si anak memilih sendiri jalan itu.
Di jalan bebas, kita bahagia karena di hidup yang sekali-kalinya ini kita bisa merasakan indahnya gelombang fluktuasi kehidupan, merasakan saripati hidup dengan aneka citarasanya, membangun mercusuar syukur ketika kita berhasil memenangkan keadaan dan membangun benteng kesabaran ketika kita harus terjatuh gagal. Menjadi bebas berarti harus siap memasrahkan diri kita sepenuhnya, bahwa apapun takdir yang Tuhan buat, itu adalah yang terbaik untuk kita, sepahit apapun yang sedang kita hadapi sekarang.
Lalu bagaimana memilih jadi aman itu? Menjadi aman berarti menikmati jaminan bulanan, jaminan kesehatan dan jaminan hari tua. Mendapat strata sosial yang tinggi di masyarakatnya, mendapat akses kemudahan khusus dalam menjemput jodohnya. Menjadi aman berarti dengan sadar dan rela memberikan waktu untuk keluarga yang dicintainya, rumah tangga yang dibangunnya, dan anak-anak yang dibentuknya hanya dengan waktu 24 jam dikurangi waktu tidur yang 8 jam dan jam kerja harian yang 8 jam dikurangi waktu-waktu lainnya atau tidak lebih dari sepertiga umur kita saja. Menjadi aman berarti siap menitipkan anak-anak kita kepada Tuhan melalui tangan sekolah dan pembantu. Menjadi aman berarti siap mengabdikan diri dengan totalitas, ditengah lingkaran setan budaya amplop dan budaya efektif bekerja yang hanya maksimal 3 jam sehari saja di kantor-kantor pemerintahan negeri kita.
Menjadi aman berarti harus siap memasrahkan diri kita sepenuhnya, bahwa setiap apapun yang kita kerjakan adalah bentuk ibadah kepada Tuhan.
Menjadi bebas atau menjadi aman, maka berbahagialah bagi orang tua yang memilihkan jalan bagi anaknya bukan karena cemas, tetapi karena kepasrahan yang demikian tinggi. Menjadi bebas atau menjadi aman, maka berbahagialah bagi kita yang memilih jalan hidup kita sendiri atas kesadaran, bukan atas kecemasan kita akan masa depan.
Mohon koreksi dan dilengkapi…
No comments:
Post a Comment