Seorang negarawan pernah berkata kritis mempertanyakan kebijakan Bung Karno, "Kenapa Anda mendahulukan pembangunan tugu Monas ketimbang masjid Istiqlal?"... maka Bung karnopun menjawab, yang potongan dari jawaban itu adalah, kalau saya tiada, pembangunan istiqlal pasti akan diteruskan oleh penerus saya, tapai kalau monas, saya kuwatir... . kira2 begitu.
Ini adalah sekelumit episode romansa perjuangan duo soulmate soekarno dan hatta, yang seringkali kress dan harus berselisihpandangan. Namun demikian, Hatta yang 'nrima' selalu saja bisa meredam dan membuat semuanya adem ayem.
Salah satu kontra diantara mereka adalah soal kebijakan-kebijakan di masa negeri ini masih bayi. Hatta idealis, sementara Soekarno begitu telaten menjalani tahap demi tahap. Akibatnya, banyak pemikiran-pemikiran Hatta yang demikian ideal dan memang diakui bagusnya oleh Soekarno tidak serta merta langsung direalisasikan, "iya, itu bagus, saya juga setuju, tapi itu nanti, sekarang kondisi belum memungkinkan..." begitu mungkin ujar si Bung.
Bung Karno pun pernah dihujam oleh persepsi menghambur2kan uang negara ketimbang memperbaiki kesra (Kesejahteraan rakyat). Tapi saya tahu, niat bung Karno adalah membangun eksistensi bangsa ini, pertama : agar bangsa lain mengakui keberadaan Indonesia dan kedua (yang terpenting), agar bangsa kita bangga atas bangsanya sendiri.
Maka dari itu, era awal pemerintahan Soekarno kita tahu, bangsa ini diwarnai dengan pembangunan ini-itu yang berkait dengan kebanggaan sebagai sebuah bangsa, diantaranya adalah Monas.
Begitulah, yang parah dari yang terparah di negeri kita adalah rasa minder, lupa bahwa bangsa ini adalah sebuah masterpiece, lupa pula bahwa diri kita sebuah masterpiece
SIARAN MAFAZA FM SELASA SORE KEMARIN
inilsah setidaknya yang saya kupas kemarin, yakni soal ke-masterpiece-an diri. Oi, lupa ya waktu kita hidup sekiranya normal 60 tahun aja, sudah sepertiga lebih habis, hitungannya tinggal 38 tahun. Apa iya di waktu yang tersisa kita mau lewatkan begitu saja tanpa kebanggaan?
Lalu kemana kita akan dikenang, kenangan generasi sesudah kita sebagai satu indikator besar kecilnya makna kehidupan kita bagi bangsa bagi dunia. Saya itu orang jelek, tapi dikelilingi orang-orang istimewa, jadi tetap saja saya coba pertahankan pandangan istimewa terhadap diri saya sendiri.
Profesor Fabre dari Eropa pernah meneliti tingkah laku ulat, ulat-ulat kecil dibiarkan berjalan mengitari pot bungan kecil di atas meja, lalu ulat itu dibelakangnya dikasih ulat lagi hingga sambung menyambung ulat-ulat itu membentuk lingkaran.
Dan apa yang terjadi, setelah sekian lama berputar-putar, di tengah lingkaran ulat itu ditaruh makanan kegemaran ulat. Tapi apa yang terjadi berikutnya, ironis, ulat itu terus saja berputar2 mengikuti jejak ulat di depannya, sementara makanan yang sebenarnya ada dalam jangkauan mereka mereka acuhkan saja. Akhirnya satu persatu mati lemas kelaparan.
Apa hidup kita mau seperti itu, mengikuti tradisi orang-orang 'general' yang letaknya lebih rendah di bawah knalpot yang hitam dan 'ngelanges'? apa maksudnya di bawah knalpot? iya, orang tipe kebanyakan kan berarti orang standar, standar kan letanya lebih rendah dari knalpot?
Kalau saya si milih jadi orang speedometer, yang hadir untuk memberi petunjuk, inspirasi, keterangan.
Bangunlah monas untuk diri kita, agar kita tahu seberapa istimewa diri ini harus diperlakukan? Dan tutup kuping seperti tutup kupingnya Soekarno ketika dicibir saat membangun pusat-pusat kebanggaan milik bangsa.
SDI pun sedang membangun monas dulu, sebelum ekonomi kerakyatan berbasis pemberdayaan dan kemandirian betul-betul mengorbit dengan cantik beberapa saat lagi. Sabar...
No comments:
Post a Comment