Tanpa dinyana-nyana saya duduk berhadapan dengan seorang pejabat di dinas air dan tanah Pemkab Banyumas, Pa Dekan namanya. Priyayi santun, rendah hati, banyak wawasan tapi tidak sombong. Sedang perjalanan menuju Jember yang 15 jam lamanya baru sampai untuk memenuhi undangan rekannya di sana, mungkin mencurvai air tanah disana...
Beliau alumni SMA 2 79, pernah study di Jepang, juga di Jerman. Orang yang tahu kayanya mineral dan potensi geologis Indonesia. Katanya, cadangan minyak yang ada di pesisir selatan Jawa saja, cukup untuk memasok kebutuhan dalam negeri hingga 200 tahun. Bayangkan kayanya negeri ini, sayang kekayaan itu 300 triliunnya dicuri asing. Hm, tanpa bermaksud berburuk sangka, siapa yang bisa membantah kalau diantara aset triliunan itu ada yang masuk ke rekening pejabat, entah itu menteri, DPR bahkan presiden. Pa Dekan sendiri dengan logisnya menjelaskan keniscayaan itu.
Bayangkan saja, utang Indonesia cuma 1600 triliun, tak sampai 6 tahun akan lunas! kalau mau mampetkan pencurian kekayaan negara yang mendurhakai UUD 1945 pasal 33 ini.
"Komitmen Fee", itu katanya, mungkin menyerupai kalau kita bikin KTP, harus bayar 5.000 rupiah padahal di kuitansi yang kita terima hanya tertulis 2.500 rupiah. Seperti kalau naik KA Ekonomi Logawa dari Stasiun Besar Kroya yang di tiket tulisannya 18.500 tapi si tukang tiket bilangnya 19.000. Mungkin seperti kalau kita parkir di Tamara plasa, uangnya 500 perak diminta, tapi kalau kita nggak meminta karcisnya kita ya nggak dikasih karcis.
Katanya, Belanda bertaruh nyawa untuk sampai ke negeri ini. Bukan 2-3 hari perjalanan, bukan medan yang mulus untuk memburu nusantara. Penjelajahan samudera diceritakan begitu panjang dalam pelajaran sejarah, tapi tak pernah disinggung alasan mendasar kenapa mereka memburu tanah air kita : karena tanah kita kaya.
Di bawah wates ada Intan. di Bawah bukit tempat rumah saya dibangun ada Emas di kedalaman 200-an meter, begitu katanya. Bukan cuma emas, tapi juga ada minyak, ya, minyak di pesisir selatan Jawa.
Tapi yang harus diterima pula, bahwa bukit tempat rumah saya dibangun, kata beliau adalah bukit lipatan, yang berhubungan langsung dengan patahan Asia dan Australia, yang sedang terus bergerak mendekat dan sudah hitungan kilometer. Padahal kedua lempengan itu bergerak dengan kecepatan tinggi, 2 meter perbulan. Tak bisa membayangkan apa yang terjadi ketika 2 lempengan itu bertabrakan, bahkan katanya Tsunami di Aceh saja adalah imbas dar sekedar pergeseran patahan Asia Afrika, baru pergeseran saja seperti itu dahsyatnya, apalagi kalau tabarakan?
Ya, tsunami besar akan menerjang pesisir selatan Jawa, hitungannya kisaran 25 tahunan lagi kata beliau, besarnya melebihi Tsunami Aceh. Ketika itu saya berpikir daerah saya aman karena dataran tinggi, ternyata eh ternyata justru sebaliknya, karena perbukitan daerah saya yang memanjang dari susukan hingga majenang merupakan daerah lipatan, ini berpotensi akan longsor atau bahkan terangkat, terdorong oleh tabrakan megadahsyat itu.
Dari selatan ada tabrakan patahan dua benua, dari utara ada Slamet yang memang sejauh ini masih aman, karena granit dan bebatuan yang menopang magma relatif masih sangat kuat, apalagi di bawah lubang kawah di atas magma Slamet ada rongga yang membuat magma hanya meluap-luap di dalam rongga itu.
Slamet aman, tapi bagaimana dengan pemanasan global, apalagi dengan ditebanginya pohon-pohon di Dr Angka dan Jenderal Soedirman?
No comments:
Post a Comment