1. Pilihan menjadi Kepompong
Kali ini saya ingin cerita tentang bagaimana seekor kupu-kupu yang cantik jelita bisa terlahir ke dunia. Di pelajaran biologi semasa sekolah duku semua pasti tahu tentang apa itu metamorfosis. Metamorfosis seperti yang kita tahu adalah siklus hidup yang berupa perubahan dari telur-ulat-kepompong lalu menjadi kupu-kupu.
Suatu ketika pernah ada seorang petani yang sedang berkebun melihat seekor makhluk hidup yang sedang mencoba keluar dari bungkusan kepompong, itulah bakal calon sang kupu-kupu. Petani itu melihatnya dengan teliti, lama dan pelan proses itu berlangsung, naluri empati sang petanipun muncul. Sepertinya makhluk ini kesakitan sekali, maka karena tak tega petani itu membantu menyobekkan kepompong itu, hingga akhirnya lahirlah seekor anak kupu-kupu yang cantik, setidaknya lebih cantik dari bentuk sebelumnya yang hanya seekor ulat.
Proses pengeluaran diri sang kupu-kupu selesai lebih cepat, petanipun lega, tetapi apa yang terjadi? Ternyata, tak selang beberapa lama, kupu-kupu itu tak dapat terbang sempurna karena sayapnya begitu lemah, akhirnya kupu-kupu itu terkapa lunglai dan akhirnya mati.
Dari kejadian itu, kita bisa menarik pelajaran bahwasannya sesuatu yang instan itu tidak baik. Selidik punya selidik, ternyata proses menyobek bungkusan kepompong yang dilakukan oleh bakal kupu-kupu yang demikian susah dan sakitnya ternyata adalah sebuah proses yang wajib dilalui untuk menjadi seekor kupu-kupu sejati. Tanpa prose situ, kupu-kupu akan menjadi ‘lebai’, karena sesungguhnya ketika proses itu berlangsung, sedang terjadi proses penguatan sayap sang kupu-kupu dalam rangka mempersiapkan sayap itu agar dapat digunakan terbang sempurna nantinya
Itu adalah sekelumit pelajaran berharga dari sebuah proses sederhana bernama metamorfosis. Amat disayangkan, sistem pendidikan di negeri ini tidaklah sampai mengupas dimensi ‘makna’ seperti contoh di atas. Padahal, banyak sekali hikmah terpendam disetiap kejadian di alam sekitar kita.
Misalnya pada pelajaran Biologi di materi tentang rantai DNA, kebanyakan kita diajarkan tentang bagaimana kode-kode pada rantai DNA tersusun demikian rapi, tidak ada yang tertukar ataupun terloncat, karena salah satu kode saja, maka akibatnya adalah cacat fatal pada tubuh kita. Namun, semua itu dijelaskan dengan penggambaran seolah-olah semua itu terjadi dengan sendirinya. Inilah yang menurut saya perlu dikoreksi, bahwasannya dalam sekecil apapun proses dalam tubuh biologis kita, ada keterlibatan Allah SWT yang mengawal kesempurnaannya. Itulah rahasia dibalik begitu rumitnya rantai DNA terrangkai, begitu juga bagaimana mekanisme kerja sel yang demikian canggih. Seandainya pembelajaran kita menyinggung aspek spiritual dalam hal ini keterlibatan Tuhan sebagaimana dimaksud di atas, tentu kita akan jauh lebih cerdas dalam menemukan makna-makna di setiap kejadian.
Kembali ke soal metamorfosis, proses itu tidaklah serta merta hanya perubahan bentuk bentuk dari telur menjadi ulat lalu ulat menjadi kepompong, lalu kepompong menjadi kupu-kupu saja. Kalau kita telisik lebih dalam , kita akan memahami bagaimana betapa kesungguhan dan kerja keras seekor ulat, dan kerelaan seekor ulat memilin dirinya sendiri hingga membentuk satu selongsong kepompong dan kerelaannya untuk mengasingkan diri dari dunia luar, bersemedi di dalam selongsong itu. Ini adalah sebuah pelajaran tentang visi dan visioner, bahwa mencapai satu tujuan indah di masa depan perlu kesediaan untuk sungguh-sungguh dan lalu mengorbankan kesenangan sendiri.
Tidak cukup itu, proses kepompong menyobek kulitnya sendiripun seperti diceritakan diataspun sangat menyakitkan, disini ada pelajaran untuk berani mengambil pilihan untuk satu tujuan indah, sekalipun pilihan itu tidak mengenakkan, bahkan menyakitkan.
Begitulah, ketika kita belajar bukan hanya melibatkan otak logika, tetapi juga hati kita untuk memaknai, maka kita akan mendapatkan ilmu-ilmu yang takterperi nilainya. Ilmu tentang pentingnya berproses, termasuk belajarpun kita butuh proses untuk menemukan teknik belajar yang paling optimal.
2. Apa “zona nyaman” yang benar itu?
Seekor ulat yang diceritakan tadi pada proses metamorfosis rela meninggalkan kesenangan di dunianya selama ini dan memilih bekerja keras membuat pilinan-pilinan hingga membentuk satu selongsong kepompong, rela meninggalkan dunianya yang menyenangkan untuk bersemedi di dunia yang damai di dalam selongsong kepompong.
Itulah yang disebutkan di banyak buku sebagai “keluar dari zona nyaman”. Setiap orang pasti punya harapan, entah harapan itu besar atau kecil, entah harapan itu obsesius atau biasa-biasa saja, pasti orang menginginkan apa yang menjadi harapannya tercapai. Dan cara untuk mencapai harapan itu tidak lain dan tidak bukan adalah dengan “keluar dari zona nyaman.”
“Keluar dari zona nyaman” adalah kata dari banyak buku, tapi kata saya tidak. Untuk mencapai harapan yang diinginkan seseorang, untuk mencapai kesuksesan, maka orang harus “masuklah ke zona nyaman”!. Lho? Bagaimana ini, kok malah terbalik?
Kita lanjutkan, masih ingat ilmu otak? Bahwa otak kita memiliki sifat “tidak mengenal kata negatif”. Misalnya, kita disuruh “jangan membayangkan tikus”, maka justru yang kita bayangkan adalah tikus. Beda kalau perintahnya tidak memakai kata JANGAN, misalnya “bayangkanlah gajah!”, maka hanya orang yang iseng saja yang tetap membayangkan tikus.
Begitupun kata-kata “keluarlah dari zona nyaman!” atau “Masuklah ke zona nyaman!”. Secara bobot psikologis, kalimat pertama cenderung lebih berat ketimbang kalimat kedua, karena kalimat pertama mengandung kata negatif “keluar” yang memiliki makna perlawanan.
Sehingga, saya menganjurkan untuk memilih kalimat kedua, “masuklah ke zona nyaman!”. Itu terkesan lebih akrab dan bersahabat, sehingga akan membantu stimulasi otak kita untuk giat mengaplikasikannya dalam bentuk tindakan.
Namun catatan terpenting adalah, sebelum memasukkan perintah itu pada “computer” otak kita, maka redefiniskan dulu zona nyaman itu sendiri. Agar hasilnya tidak keliru nantinya. Menurut banyak buku, zona nyaman adalah zona ketika misalnya kita masih jauh dari ujian sekolah, atau ketika gaji kita mengalir tiap bulan, atau hal-hal lainnya yang memanjakan kita untuk giat bertindak.
Maka redefinisi itu haruslah bisa mengubah pola pikir kita tentang pengertian zona nyaman yang baru, misalnya, zona nyaman adalah ketika kita memiliki kebebasan waktu penuh untuk mengekspresikan apa saja, zona nyaman adalah ketika kita sudah mendekati kenaikan kelas yang ditandai dengan segera berlangsungnya ujian.
Mendefinisikan ulang pengertian ‘zona nyaman’ merupakan bagian dari kita kita agar bisa sukses menjalani proses dengan menikmatinya, bukan mengeluhkannya. Misalnya bagi sang kepompong, zona nyaman yang tadinya dia artikan sebagai saat dimana dia sebagai ulat bisa berjalan-jalan bebas, bertemu teman-teman ulat diredefinisi menjadi zona nyaman adalah saat ketika dia menyepi di dalam selongsong kepompong dan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menjadi seekor kupu-kupu.
3. Senjata pertama : fleksibel
Perjalanan hidup kita, bila ingin maju maka tak akan bisa terlepas dari proses. Proses kesuksesan mungkin bisa digambarkan dalam bentuk grafik naik-turun yang tidak menentu. Disinilah kepemimpinan kita dilatih sebagaimana sayap bakal calon kupu-kupu dilatih untuk membuka selongsong kepomong agar kelak kuat sayapnya.
Bayangkan bila kehidupan kita yang di depan sana sudah tergambar satu impian luar biasa indah yang sedang dituju kok dijalankan dengan begitu kaku dan datar, maka impian itu bisa jadi akan tetap jauh dari kenyataan. Karena itu, kepekaan kita membaca keadaan, memutuskan hal-hal yang mendukung kesuksesan kita sangatlah diperlukan.
Orang yang akan mencapai sukses pastilah harus punya mental pemenang, bukan pecundang. Seorang yang punya mental pemenang tidaklah bergantung pada arahan dan perintah orang lain, tidak menempatkan orang lain sebagai penentu masa depannya, tetapi dirinya sendirilah yang merancang dan bertindak untuk mewujudkan masa depan yang dia impikan sendiri.
Dalam proses kita akan mengadapi pilihan-pilihan, fleksibilitas kita sebagai salah satu bentuk kepekaan kita dituntut disini. Karena apa, karena tidak semua pilihan itu mudah untuk kita ambil, kehidupan itu tidak selalu hitam dan putih, seringnya malah abu-abu. Nah, bagaimana ketika kita mengadapai dua atau banyak pilihan yang bagi kita itu abu-abu?
Kita harus peka membaca keadaan yang kita hadapi, seketika keadaan itu terbaca langsung hubungkan dengan masa depan kita. Sadarilah bahwa hari ini adalah sebab-sebab atas bagaimana nanti masa depan kita akan terjadi. Lawan dari cara berpikir ini adalah berpikir pendek, orang yang berpikir pendek akan memutuskan segala sesuatu berdasarkan menyenangkan atau tidaknya keputusan atas pilihan yang dia ambil. Namun, seorang yang berpikir jangka panjang akan menelaah dengan teliti segala sesuatunya dan dampaknya terhadap masa depan dirinya.
Karena itu, tak perlu takut mengambil pilihan yang bisa jadi secara jangka pendek itu merugikan kesenangan kita, mengorbankan keinginan sesaat kita, sepanjang ketika pilihan itu dihubungkan dengan masa depan kita memiliki pertalian yang positif, maka anggaplah hari ini sebuah hari yang sulit seperti kepompong, tapi sulit itu sesungguhnya sedang menguatkan.
Sadarilah, bahwa tidak ada satupun orang sukses yang tidak pernah mengalami proses menghadapi kesulitan. “Nahkoda yang handal bukan terlahir dari lautan yang tenang, tapi dari samudera yang berombak ganas.”
Sekali lagi tanamkan pikiran positif ketika menghadapi proses yang berat dan sulit untuk kita jalani, internalisasikan motivasi bahwa kejadian kita hari ini akan menjadi cerita pelajaran untuk adik, anak dan cucu kita nanti. Optimis saja badai pasti berlalu, bukankah kisah susah kita hari ini akan menjadi cerita lucu di masa depan? Juga sebaliknya kisah lucu kita hari ini akan menjadi kisah sedih di masa depan.
No comments:
Post a Comment