6/16/09

Berani Berubah (Materi Talkshow di Mafaza FM 16 Juni 2009)

  1. Perjalanan di Sebuah Negeri

Saya terkesan dengan perjalanan saya beberapa waktu lalu, di sebuah negeri menaiki sebuah kereta api tua. Disekeliling takjub saya pada pemandangan indah yang terlihat, “ini negeri hebat”, batin saya. Ada potensi lahan padi yang luar biasa luasnya. Dikejauhan juga terlihat dataran tinggi yang subur. Langitnya cerah. Dan dikesempatan perjalanan lain, saya menjumpai indahnya perairan negeri itu, pantai, danau, sungai. Lalu ketika saya mengajak bicara seseorang, dengan bahasa masyarakat setempat saya disambut ramah dan begitu bersahabat. Ketika saya tanya kepada orang itu, apa nama negeri ini? Kata orang itu, nama negeri ini : Indonesia.

Indonesia, puluhan tahun kita hidup di negeri yang disebut-sebut orang sebagai zamrud katulistiwa, tapi seberapa bangga kita terhadap langit yang kita junjung ini, bumi yang kita pijak ini? Flora dan fauna negeri ini luar biasa aneka ragamnya, kekayaan hasil bumi dan mineral begitu menggiurkan bangsa-bangsa lain. Sampai-sampai sebuah negeri kecil bernama Belanda yang letaknya di seberang belahan bumi sana mau jauh-jauh datang memburu negeri ini, bukan seminggu dua minggu mereka menetap, tapi tiga setengah abad.

Betapa betah mereka di bumi kita, bumi yang seringkali kita keluhkan selama ini.

  1. Seperti Tikus Kelaparan di Lumbung Padi

“Kesadaran” adalah kekayaan paling berharga yang dimiliki manusia. Karena yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah kesadaran itu. Termasuk salah satunya adalah kesadaran pada kekayaan yang melimpah disekeliling kita. Aa Gym pernah mengumpamakan penduduk negeri ini, termasuk didalamnya adalah diri kita bak “tikus” yang kelaparan di lumbung padi.

Amat memprihatinkan keadaan negeri ini. Pajak dari mana-mana ditarik, kelangkaan sembako dan pupuk, rendahnya pendapatan petani dan nelayan, impor kurang strategis, bahkan hingga komoditas garam dan singkong kita masih impor.

Ini adalah satu dari tiga krisis besar bangsa ini, krisis cinta terhadap negeri sendiri. Apa krisis berikutnya? Yakni merebaknya budaya hedonisme dan dominasi otak kiri.

Kebanggan terhadap negeri menjadi sangat rendah karena kita sendiri memiliki sedikit sekali koleksi pengetahuan tentang kekayaan bangsa ini, ditambah lagi keyakinan yang sangat tipis bahwa kita bisa menjadi bangsa yang besar.

Begitu pula dengan diri kita, seringkali kita tidak bangga dengan diri kita sendiri. Pandai mengeluh dan sedikit bersyukur, padahal kalau kita mau jajaki satu persatu komponen pada diri kita, kita akan terbelalak takjub dengan potensi yang kita miliki.

Begitulah dari kesadaran akan kehebatan negeri ini kita belajar, memulai melakukan perubahan dengan menyusun kesadaran akan kehebatan diri kita sendiri dengan segenap potensi yang kita miliki.

  1. Kentang Goreng Spesial : Mengubah Negatif jadi Positif

Ada sebuah kisah inspiratif dari buku NLP karangan Pakar NLP Nasional, Drs. Waidi. Alkisah ada seorang koki restoran yang sedang memasakkan pesanan pengunjung, seporsi kentang goreng. Karena terlambat mengangkat kentang yang digorengnya, gosonglah kentang. Tidak pantaslah kentang gosong disajikan, maka demi kepuasan pengunjung dia memasak sekali lagi. Untuk kentang hasil gorengan kedua ini sudah tidak gosong lagi dan siap disajikan. Dan kentang gosong yang tadipun akhirnya dia makan sendiri.

Pepatah Jawa mengatakan “Urip Iku Sawang-Sinawang”, begitulah seringkali kita memberikan sesuatu yang spesial kepada orang lain sementara untuk diri sendiri merasa cukup memberikan yang gosong-gosong saja. Kita pandai memuji orang lain, tapi seringkali kita memberikan pernyataan-pernyataan negatif terhadap diri kita. Terlihat sepele memang, tapi kalau hal seperti ini terus dilakukan dari hari ke hari, maka sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, kita akan menjadi seorang pecundang yang tidak bisa memandang spesial diri sendiri.

Karena itu di pelatihan-pelatihan pengembangan diri ada yang namanya metode kontras. Peserta pelatihan akan diajak untuk menggali ke dalam diri, menuangkan dalam tulisan hal-hal negetif yang sering kita cap pada diri sendiri. Lalu mencari lawan katanya, dan kata yang baru itu kita internalisasikan ke dalam diri.

Bangun persepsi diri positif. Ini penting. Meskipun kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa menjadi orang yang 100% benar, ada saatnya kita keliru, ada saatnya kita berbuat salah. Maka di saat itu adalah ujian bagi kita, bahwa ketika ada masalahpun kita tetap bisa berpikir positif, yaitu dengan tepat memilih fokus pikiran, bukan fokus pada rasa bersalah, tapi fokus pada hikmah.

Kalau pada saat kita bermasalahpun kita bisa positif, apalagi pada saat kita tidak bermasalah atau bahkan saat kita bisa berprestasi dan berkreasi?

  1. Semua Bangsa Besar Lahir dari Krisis

Kita bisa belajar dari Jepang, di tahun yang sama ketika kita merdeka, di saat yang sama Jepang hancur sehancur-hancurnya oleh dua bom atom dari sekutu. Tapi bagaimana perbandingan keadaan kedua negeri saat ini, setelah 60 tahun berlalu?

Jepang bangkit dengan begitu hebatnya, salah satunya adalah karena mereka tekun belajar dari kebangkitan bangsa sebelumnya, yakni Amerika dan Eropa. Revolusi Industri dan “Abad Penemuan” memungkinkan benua di belahan barat itu menjadi kiblat kemajuaan bagi dunia. Namun, karena tidak dibarengi dengan pembangunan akhlak, maka penjajahan (kolonialisme) menjalar dimana-mana, dan politik pasar bebas (liberalisme) memberangus dunia. Namun, terlepas dari semua itu kita bisa belajar dari bagaimana Inggris yang becek juga Amerika yang dihuni oleh orang-orang pendatang bisa merajai dunia? Diam-diam mereka belajar dari peradaban sebelumnya.

Di buku Imperium III karangan Eko Laksono dijelaskan bagaimana gilang-gemilangnya peradaban emas kaum Muslimin Abad ke-7 hingga ke-14. Sebuah Imperium terbesar sepanjang masa inipun tidaklah lahir langsung hebat, lahir dari satu krisis yang sangat-sangat memprihatinkan, dari padang pasir Mekah yang tandus, dari masyarakat jahiliyah yang tandus pula.

  1. Kurva “S” Tidur : Semua Orang Hebat Pernah Prihatin

Di suatu pelatihan saya mendapat ilmu bahwa keberhasilan itu seperti kurva berbentuk huru “S” yang ditidurkan, sehingga dari garis normal, kurva itu akan melengkung ke bawah, terus ke bawah, sampai pada titik kulminasi kurva itu akan naik, naik dan naik. Kata Pa Ippho, penulis buku best seller “13 Wasiat Terlarang” tentang otak kanan, “Optimislah, ketika kehidupan kita sedang turun, berpikirlah bahwa sebentar lagi kehidupan kita akan beranjak naik. Dan optimislah, ketika kehidupan kita sedang naik, maka sebentar lagi kehidupan kita akan beranjak naik lebih tinggi lagi”.

Pa Jamil Azzaini (Penemu Kubik Leadership) datang ke Bogor dengan uang sisa registrasi IPB 14.000 rupiah, dihina dan akibat bau karet karena dia sekolah sambil mencari uang dengan memungut getah karet. Untuk bisa makan harus memancing ikan dulu di sungai buat lauk, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Andri Wongso tidak lulus SD, menjajakan dagangan bersama istrinya dengan kehidupan rumah tangga yang begitu darurat ekonomi, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Ciputra adalah anak miskin dari Gorontalo yang untuk makan saja susah, tapi bagi ibunya pendidikan jadi prioritas walau sesulit apapun uang. Baju 1 kering di badan, ke sekolah tanpa alas kaki, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Ippho Santosa, pernah jualan donat 2 tahun banting tulang siang-malam sebelum belasan bukunya best seller dan menjadi pembicara otak kanan & entrepreneurship nasional hingga ke Singapura, stamina terkuras dengan kerja keras di awal, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Purdi E Chandra (Pemilik 600 outlet Primagama dan Pirmagama Grup) membuat bimbel yang tidak laku, hanya 2 pendaftar itupun teman sendiri, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Bob Sadino (Pemilik KemChik Grup & Apartemen The Mansion) pernah menjajakkan telor dari rumah ke rumah, menjadi kuli bangunan dengan honor 100 rupiah sehari, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Stave Job (Pemilik Apple & Pixar) pernah gagal meluncurkan produk pertamanya yang dinamakan LISA tetapi melejit dengan produk keduanya yang dikenal dunia dengan nama Ipod, bahkan sekarang sudah ada yang lebih memukau lagi, Iphone, merintis perusahaan multinasionalnya dari garasi rumahnya setelah drop out dari kuliah, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Ustadz Yusuf Mansur (Pendiri Wisatahati & Sekolah Darulquran International) pernah dipenjara 2X, terlilit hutang milyaran rupiah hingga terpaksa hidup dari menjajakkan es lilin di terminal, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Drs Waidi (Pakar NLP, Pengajar MM Unsoed) kisahnya mirip di Laskar Pelangi, anak miskin yang dengan kegigihannya akhirnya mampu menembus beasiswa luar negeri dan kini menjadi pengajar S2 dan menulis beberapa buku, tidak mampu membayar kuliah sendiri, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Bung Karno, semasa SMA indekost di Surabaya tanpa kasur, lampu dan kamarnya tanpa pintu dan jendela, di atas tikar rumput tak berbantal tidur dan belajar ditemani lampu teplok dan kecoa, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Jawaharlal Nehru (Mantan Perdana Menteri India), keluar masuk penjara hingga belasan kali, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Gatotkaca, dimasukkan ke kawah candradimuka yang panasnya melebihi kawah gunung berapi, tapi bisa sukses karena waktu itu dia Positif.

Dari banyak kisah di atas kita bisa belajar banyak tentang apa yang dikatakan Pa Ippho di atas. Optimislah pada apapun keadaan kita, sekalipun penuh keprihatinan. Karena keprihatinan adalah penjara yang akan mengokohkan kita, keprihatinana merupakan kawah candradimuka yang akan menempa kita, mengubah diri kita menjadi ksatria, bukan menjadi pecundang.

  1. Jus Sukses: Mengubah Pesimisme menjadi Optimisme

Harus berani berubah. Kalau permasalah tidak bisa diubah, kalau keadaan yang kita terima sulit kita ubah sesuai keinginan kita, maka pilihan satu-satunya adalah ubah fokus cara pandang kita. “Alam semesta bersifat netral, yang membuatnya menjadi positif atau negatif adalah diri kita sendiri”, kira-kira seperti itu kata buku The Secret.

Lalu bagaimana mengubah fokus itu? Misalnya kita mendapati diri kita adalah anak miskin dari desa, maka segera terapkan rumus “Jus Sukses”, yakni Jus “Tru”. Ketika diri kita mengatakan “Ah, saya kan anak miskin dari desa…”, maka segera timpali dengan jus, “Jus-tru karena saya anak miskin dari desa seperti Bung Karno, Seperti Napoleon, maka saya sangat mungkin bisa seperti mereka, saya akan belajar dari perjalanan hidup mereka dan saya akan tiru semangat mereka!”.“Ah, saya kan tidak pandai akademik…”, langsung berikan jus, “Jus-tru karena saya tidak pandai akademik, saya pasti pandai di minimal salah 1 dari 7 kecerdasan manusia lainnya, entah itu lingual, spasial, interpersonal, intrapersonal… saya akan cari tahu di mana kecerdasan saya unggul!”. Atau terbesit lagi,

Menurut buku Quantul Learning, manusia lebih banyak menerima celaan daripada pujian, artinya manusia lebih banyak menerima stimulus pesimisme ketimbang optimisme. Ini sangat berbahaya, karena itu kita tidak bisa hanya menunggu orang lain memperbanyak stimulus optimisme untuk diri kita, kita buat dan berikan sendiri saja untuk diri kita sendiri.

Saking bahayanya dampak pesimisme, semasa SMA dulu saya dan teman-teman merintis sebuah komunitas bernama Psimis yang kependekan dari (Persatuan Senin-Kamis), yang agar lebih keren ditambahi menjadi frasa “Psimis Indonesia”, yang menarik dari komunitas yang saya rintis ini selain kontinyu mengadakan buka bersama diluar bulan ramadhan (yakni puasa senin kamis) dan menjadi motor komunikasi dan reuni sesama alumni yang hingga sekarang menjadi angkatan tersolid secara jumlah sepanjang sejarah SMA 2 Purwokerto, yang menarik dari komunitas ini adalah : “Pesimiiiis…. Yoo wis…, yang kurang lebih artinya “ Pesimis? Ya udah… ke laut aja, he2”.

  1. Change Now or Lose

Ari Ginanjar dan Renald Kasali, dua tokoh pengembangan diri di negeri ini pernah menggagas seminar spektakuler bertajuk “Change Now or Lose”. Ya, berubah sekarang atau kita akan menjadi pecundang. Betapa tidak, anak muda negeri ini secara umum sudah sangat jauh dari nilai-nilai antusiasme dan ambisiusitas meraih kesuksesan. Sukses dimata kebanyakan kita hanya sebatas utopia alias kemustahilan belaka. Tidak ada kata “sukses” dalam kamus besar kehidupan kita, yang ada adalah nilai bagus, pekerjaan enak dan pendapatan besar.

Bagi saya itu bukan sukses, sukses adalah berkelimpahan. Ciri berkelimpahan adalah berbagi, karena itu sukses adalah berbagi. Negeri ini tidak butuh orang kaya yang tak mau berbagi, tapi betapa orang sudah sukses sekalipun ekonomi pas-pasan, karena kesadaran untuk berbaginya demikian luar biasa.

Maka, marilah berpikir ke arah itu. Merumuskan proposal hidup dengan tujuan yang lebih mulia dari yang kita rancang sekarang. Atau jangan-jangan tujuan hiduppun belum punya saat ini? Gawat…

Ketika teman-teman kita menghambur-hamburkan uang untuk membeli banyak buku, ketika teman lainnya lagi tak pernah punya liburan karena sibuk dengan pelatihan-pelatihan pengembangan diri. Mereka menemukan banyak nilai-nilai kesuksesan yang hakiki disana, tentang optimisme memandang nasib diri, tentang antusiasme mengejar apa yang harus kita kejar, tentang ambisiusitas yang membuat seorang manusia menjadi pemimpi besar. Sementara kita diam berpangku tangan, maka siap-siap saja menjadi “loser”.

Change Now or Lose, segera beranjak membaca buku yang bisa menyemangati diri, atau mencari informasi pelatihan pengembangan diri terdekat.

  1. Label diri Positif

Putera Sang Fajar adalah julukan yang diberikan Sang Ibunda kepada Bung Karno. Kata Sang Ibunda, Soekarno kecil yang lahir ketika fajar menyingsing yaitu pukul setengah enam adalah pertanda bahwa dia ketika besar nanti akan menjadi orang besar, akan menjadi pemimpin bagi masyarakatnya. Lepas dari asal-usul pertanda itu, tapi bisikan positif ini menjadi sugesti yang pada saatnya nanti terbukti bahwa Soekarno tumbuh dengan begitu tegar pada kemiskinannya dan gigih belajar hingga kiprahnya mendunia.

Kalau tak ada orang lain yang mencap kita seperti Bung Karno di atas, maka buat saja cap sendiri. Mungkin sebagian kita sudah pernah mendengar kisah anak elang yang bergaul bersama anak ayam. Alkisah anak burung elang tersesat dan diselamatkan oleh seekor ayam, ayam itu begitu baik hingga diangkatlah si ayam menjadi ibu oleh si anak elang. Anak elangpun bergaul sepanjang hari bersama ana-anak si ayam. Sampai pada akhirnya induk sang elang datang menemukan anaknya dan mengajaknya terbang, betapa ia terkejut, anak burung raja terbang di udara tidak bisa terbang. Apa sebab? Karena ia merasa dirinya adalah anak ayam, dan ia tak pernah berlatih terbang.

Begitulah kalau kita salah menempelkan label pada diri kita sendiri. Bisa jadi kita punya potensi yang luar biasa dahsyat tak ternilai, tapi karena kita salah mencap diri, akibatnya kita menjadi anak muda yang tak bisa berbuat apa-apa. Sedikit-sedikt lelah, sedikit-sedikit susah, tiada hari tanpa mengeluh. Saran saya, segera belilah pelampung, dan... kelaut aja...

  1. Belajar = Berubah. Belajar Sepanjang Waktu = Berubah Sepanjang Waktu

Kalau sebuah bangsa untuk menjadi hebat resepnya adalah belajar, begitu juga dengan diri kita. Bob Sadino yang tidak lulus SMA pernah mengatakan, “Saya memang tidak sekolah, tetapi saya selalu belajar”. Lalu apa belajar itu? Kata Andreas Harefa sang Manusia Pembelajar mengatakan bahwa satu ciri utama dari belajar adalah adanya perubahan, seseorang baru dapat dikatakan sudah belajar kalau sudah menunjukkan dia bisa berubah.

Kita terlahir bukan untuk menjadi perpustakaan, tetapi untuk mengamalkan sesedikit apapun ilmu kita. Jadi belajar itu bukan hanya mengunduh nilai, bukan hanya menampung pengetahuan, belajar adalah mempraktekkan. Mempraktekkan pengetahuan yang akal serap, hikmah yang hati terima, menjadi tindakan nyata.

Kalau pada topik kita kali ini keberhasilan akan dicapai dengan berani berubaha, maka semakin banyak kita melakukan perubahan berarti semakin baik tingkat kesuksesan kita, apalagi kalau usaha untuk berubah menjadi lebih baik kita lakukan sepanjang waktu. Luar biasa pasti hasilnya. Dan sekarang kita tahu, kunci perubahan adalah belajar.

Untuk sukses kita harus berubah, berubah adalah belajar, belajar sepanjang waktu untuk berubah sepanjang waktu.

  1. Jadilah Orang Hebat, atau Berpura-Puralah Menjadi Orang Hebat.

Suatu kesempatan saya pernah menjadi moderator diskusi dengan Presma (Presiden Mahasiswa) IPB, satu hal yang mengesankan bagi saya, dia yang rajin membaca koran dan becita-cita jadi Gubernur Jawa Barat bercerita pada audience, “kalau saya membaca koran tentang pembangunan dan pemerintahan, maka seolah-olah saya menjadi pejabat yang menangani masalah pada berita itu”, kata sang Presma lagi, “Dengan penempatan diri semacam itu, kita jadi tidak terhenti pada aktivitas membaca, tapi juga menganalisis dan berimajinasi, kira-kira sikap apa yang akan kita ambil sebagai pejabat yang berwenang tehadap masalah yang diberitakan itu.”

Ternyata teknik “berpura-pura” ini memang sangat mujarab dan esensial, banyak sekali buku yang mengupas tentang ini. Bahwa segala sesuatu itu diciptakan dua kali, pertama di pikiran kita dan kedua di dunia nyata. Karena itu, Borobudur tidak terbentuk tiba-tiba, tapi diawali dari imajinasi sang arsitek. Begitu juga dengan masa depan kita yang gilang-gemilang.

Kalau kita belum merasa jadi orang hebat, berpura-pura sajalah dulu.


Rizky Dwi Rahmawan

Pengasuh Rubrik Mafaza Motivasi, Setiap Selasa Pukul 16.00-17.30 di 96,7 FM

1 comment: