Saya akui diri saya ini reaktif, mudah terangsang istilahnya. Kalau saya dibilang ini dan itu yang tidak mengenakkan, mudah bagi saya untuk kesal. Tidak cukup itu, saya selalu meluap-luapkannya dalam banyak cara, membuat bantahan yang panjang kali lebar kali tinggi, menendang botol dan apa yang bisa di tendang hingga membanting barang pecah belah disekeliling saya.
Eh, sekarang saya punya tempat baru untuk belajar mengerem emosi saya. Kritik-kritik, celaan, hinaan dari komentator Kompasiana betul-betul membuat saya harus menguatkan urat sabar, kalau tidak, kalau tidak maka jari saya akan capek nggak selesai-selesai membuat bantahannya.
Saya senang dengan komentar yang faktual dan rasional, sekalipun itu merupakan bantahan bagi saya. Namun saya sungguh heran dengan orang-orang yang berkomentar pedas, bahkan kasar meluap-luap. Sudah menulis tanpa fakta, memberikan stiga tolol, bodoh, gendeng, gila, nggak mutu... wah wah wah.
Betulkah masyarakat kita sudah menjadi masyarakat antikritik? Siapa yang mengajarinya? Setahu saya, raja yang dimuliakan saja bak Prabu Parikesit masih terbuka dengan kritik, apakah Prabu negeri ini adalah manusia setengah dewa yang 0% dari luput, keliru dan aspek-aspek yang bisa dikritik?
No comments:
Post a Comment