8/24/09

Rumangsa dan Ngrumangsani

Beberapa waktu lalu saya pergi ke Jojga, pulang kemalaman, setengah delapan naik bus terakhir dari Giwangan. Efisiensi, sheet 2-2, Patas AC, dapat softdrink. Demi menghindari anarkisme terminal di waktu malam terhadap menipisnya dompet, maka saya menghubungi seorang teman untuk meminta kesediaanya menjemput. "Ya, OK! jam berapa?"...

Wuidih manstab benar jawabannya, benar-benar jawaban yang diharapkan karena diperkirakan (dan memang akhirnya terjadi) jam 12an malamlah saya tiba di Purwokerto. Sayang di sayang, miskol apalagi sms tidak lagi efektif untuk membuat orang ngulet, menyetarter motor dan meluncur ke terminal yang jaraknya 3 km di tengah malam buta.

Tapi syukurlah, saya tidak salah menumpangi bus, Efisiensi ternyata punya shuttle bus yang siap mengantarkan penumpangnya sampai ke rumahnya (asal masih di dalam kota). Dan ritual penjemputanpun batal terlaksana.

Kali kedua, saya perjalanan pulang dari Bandung, naik Bus Boediman, sama jamnya setengah delapan malam berangkat dari terminal Cicaheum. Jam 2 dini hari kurang sedikit bus sampai di Purwokerto, orang yang sama, dengan kesanggupan menjemput yang sama, dimiskol dan di smspun tiada mempan pastinya.

Maka rejeki untuk tukang ojek resmi terminal bus Purwokerto sebesar 12.000-pun mengalir waktu itu. Dan lagi-lagi penjemputanpun untuk kedua kalinya batal terlaksana.

Eh, sekarang gantian. Orang yang biasanya menyanggupi menjemput saya minta dijemput, atas perjalanannya dari Banyumas petang tadi. Entah, mungkin karena tahu walau baru jam 9 tapi saya sudah tidur (jam setengah9 saya terkapar), eh tak ada miskol dan sms untuk memanggil saya segera meluncur...

Inilah mungkin yang namanya "Rumangsa", orang yang rumangsa batal menjemput terus, pun jadi tidak berkenan untuk dijemput. Satu sikap yang mengembalikan permasalahan kepada diri sendiri sebagai subyek. Apapun permasalahannya, dari permasalahan pribadi, sampai permasalahan yang menimpa bangsa ini yakni dicaploknya tari pendet oleh negeri tetangga.

Sebelum menyalahkan Malaysia, coba, rumangsa mencintai kesenian negeri sendiri tidak kita selama ini? Begitulah, sebelum menyalahkan konsep, rumangsai aksi kita. Sebelum menyalahkan orang lain, rumangsai diri kita.

Itulah Rumangsa.

Lalu apa itu ngrumangsani? Sederhananya adalah peka, kalau kita melihat realitas sekeliling kita baru mampu seperti ini ya, jangan lantas membubungkan angan-angan yang membuat harapan kita kosong sendiri. Kalau kita melihat sekeliling kita banyak yang musti ditolong, ya lekangkan ego kita, obsesi pribadi kita dulu...

Semoga bermanfaat

No comments:

Post a Comment