Saya pertama mendengar ini dari Uje, "Semua orang akan masuk Surga, kecuali yang enggan."... Begitupula, saya percaya korelasi kata-kata ini pada nasib bangsa kita, "Semua bangsa akan sejahtera, kecuali yang enggan".
Sebuah fakta miris yang jumlahnya puluhan, yang tak terdengar ketika saya kritikkan, bahkan jauh sebelum pilpres dan serang-menyerang dalam kampanye saya temui ragam fakta. Eh, kali ini, bahkan ketika seorang menawarkan visi, seorang lainnya menawarkan citra, yang dipilih tetaplah citra.
Oh, begitukah gambaran umum bangsa saya, enggan untuk memilih tetes mata agar bisa memiliki cara pandang yang lebih cerah dan cemerlang tentang kemajuan diri dan bangsanya, eh malah lebih suka memilih pelembut kulit, agar biji yang terbungkus di dalam yang semrawut biji kedondong semakin rapi tersimpan.
Inilah bangsa saya, belum berbeda jauh ketika rel Cilacap-Jember dibangun di masa Belanda dulu, belum berbeda jauh ketika para sultan-sultan tidak bertanggung-jawab menggadaikan kerajaannya demi mengais dan menjilat kompeni walau mengabaikan rakyatnya, belum berbeda jauh ketika Soedirman yang anak ndesa harus bergerilya dan merumuskan serangan umum.
Bangsa yang menjadi pegawai yang membebani negara menjadi rebutan, menjadi pengusaha dibilang rakus. Bangsa yang menjunjung tinggi prestise sementara mengesampingkan keramahtamahan. Bangsa yang berebut bantuan langsung tunai dan tak ada greget kuat mengoptimalkan PNPM Mandiri.
Bangsa yang mengaku religius tetapi banyak sekali undang-undang yang tidak bernafaskan agama apapun, bangsa yang mengaku ekonomi kerakyatan tetapi aliran barang dan perilaku konsumsi dalam negeri tak terbingkai, bangsa yang mengaku ketimuran tetapi kiblatnya melampaui ka'bah, teruus ke barat sana... Amerika.
Inilah pilihan rakyat di bangsa saya sendiri, inilah nasib yang dipilih, sedih, sangat sedih saya, saya membayangkan ini belum seberapa dibanding ketika Iwan Fals berkoar-koar tapi rakyat disekelilingnya bukannya menjadi sadar tetapi malah ikut menghujat, dan ini terulang lagi.
Kebobrokan yang demikian nyata bak borok yang tak diperban tetapi justru ini yang dipuja-puja, justru kepada ini kepengurusan negeri seistimewa zamrud ini diserahkan.
Saya tidak habis pikir, tapi saya ingat kata Eko Laksono di inbox saya kemarin... kira-kira begini, "Hei Rizki, kalau tak ada penjajah, Soekarno mungkin tidak seperti yang kita kenal saat ini..."
Masa muda saya lebih terfasilitasi dibanding Soekarno, semisal jatah umur saya sama dengan beliau, saya azzamkan untuk mengungguli kiprah beliau. Biarlah rakyat bangsa saya sekarang begini, ini adalah selongsong kepompong yang sedang menguatkan sayap kupu-kupu indah bangsa ini yang akan membuat mereka menjadi penggubah bangsa, menjadi rujukan dunia.
No comments:
Post a Comment