7/25/09

Ember dan Pipa (2) Mencapai Keseimbangan Perlu Waktu


Beratnya merancang pipa, ternyata memakan banyak waktu, mana tenaga dan pikiran sudah terkuras banyak. Apa iya, mas Pipo harus tergiur untuk mengikuti jejak mas Embro yang jelas-jelas dia sudah mendapat upah besar dari setiap ember air yang dia suntekkan ke tandon penampungan air kerajaan?

"Ih, enggak banget deh. Pecundang kali", begitu pikirnya. Tapi begitu, pekerjaannya hampir mandeg, buntu inspirasi, lelah euy dan bawaannya males melulu karena nggak kunjung terlihat hasil yang menggembirakan.

Mana diluar prediksi, konstruksi penyangga pipa ternyata berdiri di atas tanah yang labil, pipa mleot, air tumpah nggak sampai di jarak dimana pipa sudah terpasang, yah, capek deh. Belum lagi ternyata pipa yang dibuat ukurannya kurang match satu sama lain. Mana bikin pipa yang hanya mengandalkan dari uang sekadarnya, ditambah upah dia sesekali menyetor ke kerajaan beberapa ember air nggak banyak dalam setiap minggunya.

Memang, Mas Pipo nggak sendirian, dibantu beberapa orang. Karena memang satu orangpun nggak akan ada yang bisa mengerjakan konstruksi pipa canggih seperti yang tergambarkan yang sering dia presentasikan ke public itu seorang diri. Perlu ada orang yang membukakan jalan, perlu ada yang memegangi penyangga yang belum kokoh betul, perlu ada yang menyiapkan pipa, perlu ada yang menyambung, perlu ada yang menjaga debit air di hulu, yah...

Tapi, apa yang musti Pipo lakukan ketika ada yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik? Pipo sadar, dia cuma bisa memberi beberapa teguk air dan sedikit makanan saja, belumlah cukup untuk membuat mereka hidup layak apalagi penuh semangat menggarap saluran canggih itu.

Pipo sadar, ini semua belum seimbang, makanya saluran pipa yang sudah tersalur panjang belum teraliri semua karena ada bagian pipa yang mleot sehingga air tumpah di jalan. Begitu juga orang yang bertugas di bagian debit mulai jenuh karena sudah lama dan capek menguasahakan, hasil tak kunjung terlihat.

Belum lagi yang ada di ujung hilir, mereka hanya bengong terpaku bingung mau ngapain, mau buat sambungan baru nggak ada bahannya, mau ngukur-ngukur apanya yang diukur, mau minum, airnya belum sampai kesitu.

Mana mereka paling dekat dengan pusat keramaian kota pula, pedas kali celaan orang yang nggak ngerti visi besar pembangunan pipa itu. Ya, ini pipa, bukan sekedar talang air dari bambu yang dua hari sekali menggeol, rusak, putus dan harus selalu diperbaiki dua hari sekali, kalau cuma talang air si bisa digarap sendiri. ini adalah pipa permanen yang mampu mengalirkan air dengan debit besar.

Pengorbanannyapun besar, ada yang terbengkalai, ada yang tidak menadapat haknya dengan layak, ada yang patah semangat nggak maksimal bertugas di posisinya, ada yang mulai tergiur dengan Embro yang agaknya tabungannya sudah banyak karena memang dia rajin setiap hari setor air dengan embernya.

Pipo hanya diam, yang penting melakukan apa yang bisa dilakukan aja deh, lalu apa yang mungkin, dan pasti hasil luar biasa akan OTOMATIS mereka dapatkan juga nanti. Yakin itu, yakni saat keseimbangan kerja dan keseimbangan pemenuhan hak telah tercapai. Pipo cuma bilang "semua ada waktunya.."

Bersambung...

1 comment:

  1. kalo gak tau ujungya pipa, pasti akan tergiur sama embro

    ReplyDelete