7/28/09

Melanggar Pancasila, Sila Keempat?


Saya adalah salah satu orang yang tidak setuju dengan pelaksanaan Pilpres langsung. Tidak setuju bukan karena langsungnya, tetapi karena begitu bodohnya sistem pemilihannya, sungguh, kampanye, debat, sosialisasi amat jauh panggang dari api terhadap kecerdasan berkebangsaan rakyatnya.

Rakyat seperti orang buta yang tidak dijelaskan apa-apa, eh tiba-tiba disuruh menandatangani suatu berkas paling penting bagi bangsa agar berkas itu terlegitimasi. Ya, rakyat hanyalah alat legitimator, tanpa mereka diberi pencerahan terlebih dahulu tentang apa itu kepemimpinan, apa itu kebangsaan dan apa itu politik.

Hal yang paling mendasar adalah semangat pemilihan langsung yang diselenggarakan dengan mengabaikan kecerdasan konstitusional rakyatnya adalah bertentangannya pilpres langsung dengan Pancasila sila keempat "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan/perwakilan".

Pertama : Kata Permusyawaratan/Perwakilan jelas-jelas menekankan bahwa amanat pendiri bangsa menghendaki negara ini dikelola oleh para ahli, ingat dalil "apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka siap2lah menanti kehancuran".

Lembaga Permusyawaratan/Perwakilanlah yang harus dibenahi agar disana bukan lagi menjadi tempat para pencari nafkah, para penabuh biola orkestra keroncongan perut rakyat, tempat terbar pesona para artis dan tempat kongkow-kongkow anak pejabat. Di sana harusnya menjadi tempat yang berkomposisi ekonom terbaik, tempat politisi tebaik, pekerja sosial terbaik, ahli hukum terbaik, arsitek terbaik, pelaku pendidikan terbaik, seniman terbaik yang kesemuanya cinta pada bangsanya, yang bukannya mengeruk uang negara tetapi justru mendidikasikan harta dan dirinya untuk bangsa.

Bayangkan, mana hasil pilpres yang lebih valid? Figur yang dipilih oleh seluruh rakyat tanpa mereka betul-betul dikenalkan tentang kepemimpinan, kebangsaan dan politik, atau figur yang dipilih hasil permusyawaratan ekonom terbaik, ahli hukum terbaik, pelaku pendidikan terbaik, seniman terbaik dan agamawan terbaik yang dipunyai negeri ini? Mana yang lebih "ahlinya..." menurut dalil?

Sungguh, bangsa ini sedang menanti kehancurannya. Rakyat yang bukannya dipandaikan tetapi malah dibodohi dengan iklan sekolah gratis, dengan debat yang begitu kaku, dengan sosialisasi yang pemilihan yang menghambur-hamburkan banyak uang.

Kedua : Kerakyatan memanglah dipimpin oleh hikmat, bukan oleh uang. Kepemimpinan rakyat atau kepemimpinan bangsa ini saat ini menggunakan mekanisme apa yang dicontoh dari Amerika bernama sistem demokrasi, hanya bedanya kalau di Amerika Bipartai, kalau di kita Multipartai.

Ujung tombak penentu keterwakilan rakyatnya ada pada Partai Politik. Sudah menjadi rahasia umum, parpol-parpol kita berpolitik seperti berdagang sapi, siapa yang bisa membayar lebih mahal, dia yang akan dijagongkan, siapa yang lebih populer dia akan diekslpoitasi untuk mengeruk sebanyak2nya suara rakyat. Rakyat hanya dijadikan legitimator pencarian nafkah mereka.

Inilah tantangan kita, terutama tantangan orang-orang yang berwenang terhadap ini, untuk mengubah kiblat parpol dari uang menjadi hikmat, dari materialisme menjadi spiritualisme. Sementara orang-orang yang berwenang menyiapkan integrasi yang menjadi hikmat dengan membentuk seperangkat sistem yang lebih smart, maka tugas kita sebagai generasi bangsa untuk menjadi pribadi2 yang betul-betul smart.

Maka, mobil balap terbaik akan bertemu dengan pembalap terbaik. Sistem yang smart akan bertemu dengan SDM yang smart, jadilah kebangkitan bagi bangsa. Mungkin bukan satu atau dua tahun, lebih lama sedikitlah, kapan itu? bisa jadi pas zamannya kita.

No comments:

Post a Comment