7/21/09

Mafaza BERANI BANGKIT (1)


1. Dobrak Mindset

Kita mengenal tiga tipe kereta api penumpang, ada kereta api eksekutif yang gerbongnya sejuk ber-AC dan penumpangnya diberikan selimut, lalu kereta api bisnis yang walau tak ber-AC lumayan nyaman dan tidak banyak berhenti dan terakhir adalah kereta ekonomi, yang karena tidak pernah dihitung dalam satu gerbongnya penumpang sesuai jumlah standar atau tidak makannya bisa saja kita naik didalamnya dengan berdiri sepanjang jalan, padahal harga tiketnya sama dengan yang duduk.

Seperti kereta api, di zaman penjajahan dulupun masyarakat dibagi tiga golongan. Masyarakat tingkat pertama adalah mereka orang Barat atau biasa disebut Inlander, lalu golongan kedua adalah pendatang dari China, India dan kalangan bangsawan dalam negeri. Dan yang terakhir adalah masyarakat pribumi yang jelata.

Pada zaman penjajah dulu, sangat menyedihkan, karena justru golongan ketiga yang ekonominya sangat sulit dipaksa membayar pajak dengan aturan yang begitu ketatnya. Lalu masyarakat golongan pertama justru bebas dari pajak. Dan bagaimana dengan masyarakat golongan kedua, mereka tetap kena pajak tetapi yang memiliki kedekatan tersendiri atau bahasa lainnya ‘bisa menjilat’ penguasa, mereka bisa diringankan pajaknya.

Menyedihkan bukan nasib bangsa ini zaman itu, penduduk asli bangsa ini justru mendapat stereotip terendah, mereka hidup dengan lusuh berselimut kelaparan. Ditekan sana dan ditindas sini di negeri sendiri. Atas kenyataan itulah, Soekarno, Soedirman dan banyak lagi generasi dimasa itu memutuskan untuk bangkit melawan, mempersembahkan perubahan untuk negerinya tercinta.

Mereka ada yang berhasil membuahkan hasil perjuangan, ada pula yang gugur terlalu dini di medan laga. Terlepas dari semua itu, mereka adalah orang-orang yang pantas dimuliakan, karena mereka hidup bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, bukan sekedar untuk memperkaya diri, tetapi mereka menuruti naluri kepedulian di hati mereka untuk memikirkan dan ikut berbuat untuk bumi pertiwi mereka, tempat langit mereka junjung dan bumi mereka pijak.

2. Konsep Diri Positif

Lalu bagaimana dengan diri kita? Socrates berkata “Hidup yang tidak ditelaah, tidak layak untuk dijalani”. Untuk apa hidup dan kehidupan kita selama ini kita dedikasikan? Sibuk setiap hari, menambah ilmu di sekolah, mengejar nilai dan kelulusan terbaik, apa sebetulnya yang kta kejar?

Tidak salah memang mengejar kesuksesan pribadi, sudah menjadi watak dasar manusia untuk mencapai derajat tertinggi yang ia mampu, termasuk dalam segi ekonomi pribadinya. Namun, apakah kesibukan kita mengejar obsesi pribadi itu membuat kita lalai untuk peduli pada tanah airnya?

Mungkin sebagian kita beralasan, “Kan, Indonesia sudah merdeka sekarang. Buat apa masih berjuang?”. Nah pertanyaannya, betulkah negeri kita sudah merdeka saat ini? Mari kita lihat lebih teliti. Bukankah pada zaman penjajahan dulu masyarakat dibagi menjadi tiga golongan? Pertanyaannya, masihkah pembagian feodal itu saat ini? Jawabannya, masih. Bahkan belum berubah, masyarakat asli Indonesia menjadi rakyat miskin yang menerima bantuan ini dan itu dari pemerintah. Mereka bekerja menjadi buruh yang gajinya lebih murah disbanding monyet yang bermain topeng monyet, kalau mereka di toko mereka bekerja di frontliner, menjadi pelayan toko atau satpam.

Lalu, siapa golongan kedua? Mereka adalah pendatang tetapi masih dari kalangan Asia (China, India, Arab, dan sebagainya), juga para bangsawan. Bukankah mereka yang menguasai pasar-pasar tradisional di negeri ini? Lihat saja Pasar Wage hingga glodok, tingkat kesejahteraan mereka sekelas di atas rakyat pribumi yang jelata. Mereka bukan hanya punya warung, tetapi juga memiliki afiliasi-afiliasi dagang yang kuat. Yang dengan afiliasi itu tentu bisa mengajukan keringanan beban pajak dan pemangkasan alur birokrasi dari pemerintah.

Lalu siapa srata teratas? Mereka adalah kalangan asing barat. Tidak percaya? Coba saja berjalan-jalan di kota-kota besar di Indonesia, di bangunan-bangunan megah bernama Mal, logo apa yang besar bersinar dengan benderangnya di sana? Merk dagang manakah itu? Lalu bagaimana dengan pengelolaan mineral tambang negeri ini, siapa yang mencengkeramnya? Dan satu lagi, kalau kita kritis membaca media, maka kita akan menemukan sejumlah fakta bahwasannya banyak sekali kebijakan pemerintah yang diintervensi oleh swasta asing.

Inilah yang membuat saya tidak yakin bahwa kita sudah benar-benar merdeka. Kita tidak boleh mengingkari kenyataan ini, namanya pesimistik itu. Namun, dengan kita sadar akan kenyataan bahwa penjajahan dalam rupa lain masih mencengkeram negeri ini dengan demikian kuatnya, maka tumbuh kesadaran untuk bangkit. Bangkit yang bagaimana? Bangkit mengejar sukses, bahwa sukses pribadi bukanlah akhir, sukses pribadi adalah bekal untuk memberikan kontribusi kepedulian kita untuk tanah air tercinta.

Mungkin saat ini, kita tergolong masyarakat kelas tiga, masyarakat kelas ekonomi, yang berdesak-desakan dalam gerbong kehidupan, yang jalannya lamban dalam belajar, yang tidak mempunyai banyak fasilitas. Menghakimi diri menjadi rendah seperti ini amatlah mengerikan. Ketika kita sadar bahwasannya masyarakat kita masih terkotak-kotaki dan ternyata kita ada di kotak paling bawah, maka yang harus dilakukan adalah mengubah konsep diri kita menjadi positif terlebih dahulu.

Bagaimana itu maksudnya? Maksudnya, lupakan bahwa kita adalah kelas terendah, tetapi tanamkan bahwa kita adalah pemilik asli negeri ini yang sepantasnya menjadi raja di negeri sendiri. Ketika kita berpikir bahwa kita tak punya fasilitas untuk sukses dan mensukseskan orang lain, maka lupakan itu, dan pikirkan bahwa pejuang-pejuang kemerdekaan yang telah berhasil dulupun tidaklah didukung dengan fasilitas yang lengkap, mereka bisa ‘survive’ bersama alam. “Jangan pikirkan apa yang kita tidak punyai, manfaatkan apa yang kita punyai saja dengan optimal”.

Selama kita tidak bisa mengubah cara berpikir kita sendiri tentang konsep diri menjadi lebih positif, maka selamanya kuta hanya akan menjadi generasi jaga warung, generasi buruh, generasi budak di negeri sendiri. Padahal, yakinlah, kita punya potensi menjadi raja di negeri sendiri. Jauh sebelum penjajah datang dulu, kita pernah jaya, Sriwijaya yang mengagumkan, dan Majapahit yang merupakan sebuah kerajaan maritim terbesar sepanjang masa hingga saat ini belum ada tandingannya adalah leluhur kita. Kalau kita memiliki semangat yang sama dengan mereka, maka Zaman Kebangkitan Indonesia ketiga akan mudah terwujud. Niatkanlah itu, mulailah dengan mengubah konsep diri menjadi positif. Bukan lagi sebagai budak, buruh atau pegawai yang begitu bergantung pada orang lain.

3. Belajar dari Mereka yang Pernah Gagal

“Thingking big & start with small”, sudah tidak ada pilihan lain selain menjadi sukses. Karena sukses itu bukan hanya untuk kesenangan diri sendiri, sukses kita akan menjadi magnet kebangkitan tanah air kita yang kaya dan membanggakan ini. Namun, apakah harus menjadi anggota DPR dulu, harus menjadi presiden dulu untuk membangun bangsa? Jawabannya, tidak.

Orang-orang sukses yang berhasil memuliakan bangsanya selalu mengawali perjuangannya dari hal-hal kecil yang mampu ia lakukan. Musti tertanam keyakinan yang kuat dalam diri kita bahwa hal kecil yang kita lakukan untuk kemajuan tanah air kita, asal tulus kita niatkan untuk itu, maka itu pasti tidak akan menjadi hal yang sia-sia.

Kita bisa belajar dari Soekarno, yang dia lakukan adalah belajar, belajar dan belajar hingga akhirnya dia bisa berjuang untuk bangsanya dengan pidato-pidatonya. Apa si pengaruhnya sebuah pidato dimasa itu, ditengah luasnya Indonesia yang tercengkeram penjajah waktu itu? Belum juga merasakan manfaat besar dari pidatonya, Soekarno dipenjarakan, diputus komunikasinya dari keluarga, dari pemberitaan dan dari sumber belajar. Hampir-hampir ia putus asa, tetapi akhirnya dia bisa tetap bertahan. Kalau saja ia tak bertahan, entah bagaimana nasib naskah proklamasi kita.

Soedirman, apa yang dimiliki seorang tentara kampong yang hidup jauh dari ibukota? Ia melakukan gerilya, yang kalau dipikir, seberapa besar si pengaruhnya? Tetapi kegigihan dan optimismenya yang menjadi magnet bagi orang-orang disekelilinya membuat kelompok mereka mampu bertahan dan salah satu buah perjuangan mereka mampu mengguncang dunia dengan peristiwa yang kita kenal sebagai Serangan Umum Satu Maret.

Atau Nyi Ageng Serang, sepele sekali pekerjaannya, menyelundupkan senjata lewat barang gendongannya. Dan banyak lagi kisah lainnya yang seharusnya bisa menginspirasi kita untuk berbuat sekecil apapun untuk kebangkitan bangsa yang sedang terpuruk ini.

Mereka mau berjuang tanpa imbalan yang jelas, tidak mulus perjalanan mereka, gagal bukan hanya sekali mereka terima, tetapi mereka bertahan dan terus mengejar cita-cita tinggi mereka, lalu bagaimana dengan kita? Apa cita-cita kita? Seberapa peduli diri kita dengan tanah air kita sendiri? Apa yang terlintas di gambaran masa depan kita? Hanya kesuksesan pribadi sajakah? Atau terbesit kepedulian untuk berkontribusi untuk bangsa? Seberapa kuat kepedulian itu? Sungguh-sungguhkah? Mau gagalkah kita? Mau mulai melangkahkah kita, walau dengan hal-hal yang sepele? Satu yang perlu kita ingat, kalau bukan kita siapa lagi?

No comments:

Post a Comment