7/28/09

Mafaza BERANI BANGKIT (2)

4. The “Zamrud Katulistiwa” & Belanda yang Sedang Kolaps

Kalau kita membuka-buka lagi buku pelajaran sejarah sewaktu kita masih sekolah dulu, kita akan menemukan penyebab Indonesia tidak juga lepas dari penjajah selama berabad-abad adalah karena perjuangan yang ada dilakukan secara kedaerahan, tidak bersatu.

Perjuangan kedaerahan inilah yang menutup alur informasi yang sebenarnya tentang siapa sebenarnya Indonesia dan siapa sebenarnya Belanda sang penjajah itu. Masih ingat kisah anak elang yang tersesat dan ditolong oleh induk ayam? Yang kemudian anak elang itu tidak menyadari bahwa dirinya adalah bangsa burung yang gagah dan bisa terbang. Begitulah bangsa ini, dalam kungkungan kemiskinan pada masa penjajahan, kebanyakan lupa dan tidak menyadari bahwa tanah yang diinjak-injak penjajah ini adalah tanah yang subur, megah bahkan mewah akan potensi hasil bumi.

Indonesia masa itu adalah negeri kaya raya, yang memang hingga saat ini juga masih kaya raya. Tidak terhitung potensi mineral di dalam buminya. Belum kesuburan tanahnya, yang akhirnya dieksploitasi oleh penjajah untuk membangun banyak perkebunan di sini. Karena masyarakat yang terkungkung oleh informasi ini, kebanyakan merasa lemah dan kalah secara mental, belum lagi melihat penjajah yang kuat bersenjata dan berseragam.

Padahal, penjajah saat itu, yaitu negeri Belanda sebetulnya adalah negeri yang sedang hampir bangkrut, dalam kondisi krisis karena kelangkaan barang kebutuhan dan permasalahan lainnya. Oleh sebab itulah, mereka menjelajah samudera yang misterius untuk menemukan dunia timur, mengambil rempah-rempah dan kekayaan lainnya untuk memperbaiki keadaan bangsa mereka.

Seharusnya, dengan keadaan yang demikian saat itu tahu bahwa perlawanan sebetulnya tidak seimbang, Indonesia yang kaya raya dan luas luar biasa, melawan Belanda yang sedang kolaps dan kecil pula negaranya.

Apa gerangan penyebabnya? Adalah keterbatasan ilmu pengetahuan, keadaan yang menimpa negeri ini pada masa itu seolah-olah begitu terdesak, begitu tertindas, negeri ini serasa lemah bukan kepalang sementara penjajah yang datang kuat luar biasa.

Ternyata penjajah datang bukan semata-mata menindas fisik, tetapi juga menjajah mental kita. Dan masihkah hal itu berlangsung saat ini? Mari kita simak beberapa contoh nyata yang ada sekarang, kita tahu perusahaan raksasa pertambangan emas di Papua, Freeport. Perusahaan itu telah mengeruk gunung emas hingga lahan kerukannya kini menjadi lembah raksasa, bukan hanya itu, dengan jumlah kekayaan yang diperoleh dari aktivitas tambangnya, rakyat disekelilingnya tetap masih dalam keadaan miskin dan terbelakang, miskin secara ekonomi, terbelakang secara pengetahuan. Bukan hanya itu, beberapa tahun lalu mencuat berita bahwa Freeport telah menyumbang kerusakan lingkungan yang parah bagi sekelilingnya.

Namun, negeri ini masih terjajah, dengan alasan takut mendapat peradilan arbitrase internasional bila menutup sepihak pertambangan itu, dengan alasan takut di embargo Amerika Serikat bila memutus hubungan kontrak sepihak, maka perusahaan kapitalis itu tetap bebas beroperasi mengeruk kekayaan mineral dalam bumi kita.

Contoh lainnya adalah Blok Cepu, salah satu sumber minyak terbesar di negeri ini. Karena merasa diri tidak mampu mengelola sendiri, dan begitu menurut pada cap bahwa perusahaan asing lebih professional sesuai arahan asing, maka pengelolaan Blok Cepu tidak diserahkan pada Pertamina, tetapi pada Exxon. Alih-alih melakukan reformasi birokrasi dan pembersihan di tubuh Pertamina yang kepunyaan dalam negeri, malah diserahkan kepada asing begitu saja.

Sikap minder yang sistematis, bahwa apabila kita tidak menurut pada arahan asing bangsa kita akan terancam dari bantuan atau pinjaman internasional. Bangsa kita akan mendapat embargo ekonomi maupun militer dari Negara adidaya, bangsa kita akan diadili oleh peradilan internasional. Ini merupakan cerminan sikap anak elang yang merasa dirinya hanya seekor ayam.

Padahal kita seharusnya menyadari, bahwa sebetulnya ada hubungan saling tergantung atau inter-dependency antara bangsa kita dan bangsa asing. Amerika butuh kita untuk memasok energi dan komoditas pangan ke negaranya. Jepang butuh kita untuk pangsa pasar mereka. Eropa butuh kita untuk kemitraan bisnis antarnegara, Timur Tengah butuh kita sebagai Negara muslim terbesar di dunia.

Dengan kenyataan itu, seharusnya Indonesia punya posisi tawar yang tinggi, bukan hanya takut diancam oleh asing, tetapi juga bisa mengancam asing. Apabila kita bisa mengeluarkan kebijakan yang tegas, maka akan banyak negeri pula yang takut pada negeri kita.

Ini hanya sekelumit fakta bahwa penjajahan belum berakhir, terutama penjajahan mental. Dan kita tidak bisa serta-merta menyerahkan semuanya kepada pemerintah. Semua elemen rakyat memiliki tanggung jawab moral untuk bersama-sama melepaskan diri dari belenggu pengkerdilan mental semacam ini.

Tidak berubah dari masa dua atau tiga abad yang lalu, tantangan bagi kita adalah mendobrak kungkungan pemikiran kita menuju jendela pengetahuan yang lebih luas dan terbuka. Ini harus dibenahi oleh kita semua, selama fokus kita belajar hanya pada informasi-informasi yang bersifat normatif, apalagi hanya ditujukan untuk menuju satu profesi tertentu atau mendapat predikat tertentu, sementara kita menutut diri dari informasi aktual dan wawasan nasional serta internasional, maka selama itu pula kita menjadi bangsa yang kerdil yang selalu didikte oleh asing.

Membuka mata, membuka hati dan membuka pikiran bahwa kita adalah bangsa yang besar. Hanya sedikit dari kita yang menyimpan data dan fakta seberapa kebutuhan Amerika akan Indonesia, atau apa saja yang dibutuhkan Jerman dan Negara Eropa lainnya terhadap negeri kita, atau seberapa besar pengaruh Indonesia terhadap pangsa pasar produk-produk Jepang, dan banyak lagi lainnya. Ini yang harus kita cari tahu, kita dalami, kita yakini lalu kita terbarkan seluas-luasnya untuk mengembalikan kepercayaan diri bahwa kita adalah bangsa yang besar, yang berpengaruh bagi dunia.


5. Setriliun Potensi

Profesor Andrew, seorang bule yang saat ini menetap di Indonesia untuk meneliti dan belajar banyak hal tentang kebudayaan negeri ini. Mulai dari Musik Dangdut, Gamelan, Bahasa Sunda, Wayang Kulit dan lain sebagainya. Profesor tersebut hanyalah satu dari sekian banyak pendatang dari mancanegara yang terkagum-kagum pada kebudayaan yang negeri kita miliki.

Saat ini kita bisa menemukan seorang dalang asing, sinden dari luar negeri atau penari Jawa tapi bukan orang Indonesia. Itu adalah salah satu bentuk pengakuan bahwasannya negeri ini kaya, negeri ini mengagumkan. Kalau di daftar satu persatu kekayaan negeri ini, pasti tak cukup dituliskan dalam buku dengan tebal ribuan lembar sekalipun. Mulai dari kekayaan sumber daya alam, di dalamnya ada kekayaan potensi mineral dalam bumi, apa saja itu? Ada kekayaan emas, intan, minyak bumi, gas bumi, timah, perak, tembaga dan banyak lagi lainnya. Lalu kekayaan di permukaan bumi, berupa tanah yang subur yang bisa menghasilkan komoditas pertanian dan perkebunan yang tak ternilai banyaknya.

Belum lagi kekayaan laut kita, potensi garam, ikan laut, kerang mutiara. Lalu potensi flora dan fauna, ada spesies yang sangat heterogen hidup dan berkembang di negeri ini. Berikutnya adalah potensi wisata, ada pantai, gunung, perbukitan, air terjun, danau, dan banyak lagi lainnya.

Lalu bagaimana dengan potensi sumber daya manusianya? Ada kebudayaan yang bisa diklasifikasikan dalam ratusan bahkan ribuan macam dengan tariannya masing-masing, rumah adatnya masing-masing, senjata khasnya masing-masing, makanan khasnya masing-masing, alat musiknya masing-masing dan bahasanya masing-masing.

Bangsa ini begitu mengagumkan, kalau kita menyadarinya. Kalau kita menyadarinya tidak ada satupun dari kita yang perlu menjadi pengangguran. Jalan-jalan di negeri kita tidak seperti di timur tengah yang kiri-kanannya gersang. Kebun-kebun di negeri kita tidak seperti Eropa yang hanya bisa produktif ditanami pada musim tertentu, tidak bisa dilakukan sepanjang tahun. Lahan di negeri kita tidak seperti Jepang yang sangat sempit dan terbatas. Pemukiman di negeri kita tidak seperti China bagian barat yang jauh dari pantai dan laut.

Potensi bangsa yang begitu besar ini diimbangi dengan potensi individu yang luar biasa dahsyatnya maka seharusnya cukup untuk mencapai hidup sejahtera dan mewujudkan bangsa yang dikagumi dunia. Penduduk Indonesia terkenal dengan keramahannya sebagai orang timur, bukan hanya ramah tetapi juga sopan menjaga aurat. Maka kita dan masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat rendahan yang hanya pantas menjadi kaum golongan ketiga atau menjadi pelayan di negeri sendiri. Potensi tak terhitung yang kita miliki cukup untuk perlahan membalik paradigma sempit kita selama ini.

6. Memandang Heran

Inggris yang kita kenal saat ini, begitu mengagumkan, daerah persemakmurannya ada dimana-mana, termasuk Negara tetangga kita Malaysia. Bayangkan dengan Negara persemakmurannya saja kita kalah maju, apalagi dengan sang Inggris. Salah satu kotanya, Greenwich menjadi titik nol perhitungan waktu. Bahasanya menjadi bahasa internasional yang orang-orang kalau tidak fasih melafalkannya akan merasa minder dan rendah diri.

Amerika, orang menyebutnya sebagai adidaya. Bangsa manapun tidak bisa berkutik ketika sang adidaya menggunakan hak vetonya di lembaga internasional untuk memuluskan pencapaian ambisi mereka. Mata uangnya mendominasi perekonomian dunia, dollar. Sekalipun besar dan ditakuti, Amerika sering sekali menerapkan standar ganda yang menguntungkan kepentingan negaranya dan merugikan kepentingan negara-negara yang berseberangan kepentingan dengannya.

Jepang, menjadi negara yang sangat dikagumi dalam hal teknologi. Produk-produknya membanjiri pasar internasional, penjualan di luar negeri jauh melambung di atas penjualan di dalam negerinya sendiri. Kualitas prima yang dipersembahkan oleh putra-putri terbaik negeri matahari terbit itu sulit dikalahkan oleh bangsa-bangsa lainnya. Dan Jepang merupakan negeri yang mengagumkan ditilik dari etos kerja dan kedisplinannya. Disana loyalitas terhadap perusahaan dijunjung tinggi, dan efektivitas pemanfaatan waktu sangat diperhatikan.

Jerman, bersama Jepang menjadi rujukan iptek dunia. Dunia mengenal produk-produk terbaik diciptakan di negeri itu. Rakyatnya makmur, ekonominya jauh di atas bangsa-bangsa lainnya. Pemuda dari bangsa manapun akan sangat bangga bila bisa mendapat beasiswa dan melanjutkan studi di sana. Sistem pendidikannya maju dan kualitas lulusannya diakui dunia.

Namun, tahukah kamu bagaimana keadaan bangsa-bangsa terbesar di dunia beberap waktu silam? Apakah mereka besar karena memang besar? Jawabannya, tidak, tidak sama sekali. Bukan hanya karena aslinya besar maka sekarang besar bangsa-bangsa itu, tetapi bangsa-bangsa hebat itu membangun diri dengan perjuangan tertatih-tatih, dari keadaan yang begitu mengherankan, begitu terbelakang di awal.

Inggris, di Zaman keemasan Imperium Islam dulu hanyalah daerah yang kumuh dan becek. Masyarakatnya tidak mengenal mandi dan MCK, penyakit mewabah dimana-mana, tidak dikenal dokter, yang dikenal hanyalah dukun-dukun tahayul pengusir setan. Mereka sangat jauh dari ilmu pengetahuan, kelaparan dimana-mana, angka kematian sangat tinggi.

Amerika, awalnya hanyalah benua asing, yang kemudian ditemukan dan didatangi berbondong-bondong oleh orang Eropa. Maka, penduduk aslinyapun diberangus hingga terpinggirkan entah kemana, tetapi dengan tertatih-tatih dalam waktu yang tidak sebentar para pendatang itu mengembangkan sumber daya yang ada dengan pengetahuan yang dimiliki hingga akhirnya bisa menjadi adidaya seperti hari ini.

Jepang dulunya adalah negeri yang sangat tertutup, baru mengenal pembaharuan pada pemerintahan Meiji, mereka awalnya tidak mengenal teknologi dan pengetahuan modern, tetapi seiring dengan perjalanan waktu, mereka belajar, akhirnya bisa menjadi bangsa yang berdikari dalam hal teknologi. Kekuatan ilmu pengetahuan mereka diimbangi dengan kekuatan mental yang dibalut dengan spiritualitas yang begitu kuat, sehingga sekalipun berkali-kali ambruk dalam kegagalan, diantaranya ambruknya bangsa ini ketika dibom atom di Hirosima dan Nagasaki, tetapi bangsa ini cepat memulihkan kondisi bangsanya sendiri.

Habibie hanyalah satu dari sekian banyak ilmuwan Indoensia yang ikut berkontribusi memajukan iptek di Jerman. Jadi, kalau negeri bekas Nazi ini sekarang begitu maju dalam hal teknologi dan pendidikan, maka ada kontribusi besar bangsa kita di sana. Kenapa mereka mengembangkan ilmunya disana, tidak dinegerinya sendiri, Indonesia? Bukan salah mereka, salah bangsa sendiri, tidak menghargai ilmu pengetahuan dan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.

Kalau ditanya apa rahasia kebangkitan bangsa-bangsa miskin itu hingga menjadi digdaya seperti yang hari ini kita lihat? Jawabannya adalah ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan yang bukan sekedar disimpan di otak kita seperti buku yang disimpan di rak perpustakaan, tetapi ilmu pengetahuan yang diramu dengan imajinasi.

Inilah yang dimiliki bangsa-bangsa besar itu dan tidak dimiliki oleh bangsa kita, yakni menghargai pengetahuan dan menghargai orang-orang yang memiliki pengetahuan. Eropa bangkit melalui revolusi Industri yang dimotori oleh Inggris didahului dengan kegetolan memburu ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan mereka dapatkan dari peradaban maju sebelum mereka, Imperium Islam yang belum tertandingi kebesarannya hingga saat ini.

Pemerintah memberikan fasilitasi yang luar biasa seperti pemerintahan Spanyol yang membiayai misi perjalanan Colombus atau yang lebih hebat lagi adalah pemerintahan Meiji yang mendorong pemudanya untuk belajar ilmu pengetahuan dari luar Jepang hingga buku-buku bermutu dari dunia berbondong-bondong masuk ke Jepang dan diterjemahkan dalam bahasa Jepang.

Begitu juga Jerman, ilmuwan ditempatkan terhormat dan dilindungi disana. Maka pantaslah bisa negara-negara yang mau belajar, mau memfasilitasi rakyatnya belajar, mau menghargai materi belajar dan mau menghargai hasil belajar sekalipun di awal mereka miskin pada akhirnya bisa menjadi besar memukau siapapun yang memandangnya.

Mengembangkan Ilmu Pengetahuan adalah kunci kemajuan. Untuk memperbaiki sistem perburuan pengetahuan di negeri kita mula-mula kita harus berani kritis pada sistem pendidikan kita juga pada pola belajar kita sendiri. Kalau sistem pendidikan dan pola belajar hanya diarahkan untuk mencapai strata gelar tertentu, untuk mendapatkan nilai akademiki tertentu, untuk bsia menembus seleksi pencapaian profesi tertentu, maka proses peramuan ilmu pengetahuan dengan imajinasi, antara otak kiri dan otak kanan pastilah terabaikan.

Kalau proses peramuan itu terbaikan, maka ilmu pengetahuan akan menjadi statis, tidak berkembang. Kalau ilmu pengetahuan tidak berkembang, maka mustahil orang-orang cerdik pandai akan bisa menciptakan inisiatif perubahan kepada masyarakat dan bangsanya. Kalau tidak ada inisiatif perubahan, maka bangsa ini akan tetap statis, tidak bergerak menuju kea rah yang lebih baik.

Maka, sudah saatnya kita sebagai bangsa dan kita sebagai individu, menghargai ilmu pengetahuan dengan menempatkan pemahaman yang benar, bahwa ilmu pengetahuan diburu bukan sekedar untuk mencapai profesi tertentu, tetapi untuk diramu dengan imajinasi yang kita miliki, untuk melahirkan suatu inisiatif pembaharuan. Walaupun perubahan menuju arah pembaharuan itu kecil, tetapi kalau massif dilakukan oleh setiap orang, bila pada saatnya nanti jumlah inisiatif perubahan menuju pembaharuan itu mencukupi, otomatis, bangsa ini akan naik derajatnya dan memukau di mata dunia.

No comments:

Post a Comment