7/3/09

Ini Bukan Kampanye, dari Tulisan ini Kita Bisa Berpikir Lebih Rasional


Siapakah pemenang debat capres yang berlangsung tiga putaran? Jawabannya JK. SBY di urutan kedua dan Megawati di posisi terakhir. Nilai Megawati, yang tertatih2 dalam debat, cukup jauh dari kedua capres tersebut.

Penilaian itu diungkapkan tim akademisi UI dalam siaran Metro TV seusai debat putaran ketiga tadi malam (2/7). Tim akademisi itu adalah Dr Firmansyah (fakultas ekonomi), Prof Dr Satya Arinanto (fakultas hukum), Hamdi Muluk, dan Adrianof Chaniago.

Tim mengajukan sejumlah parameter seperti penguasaan materi dan penguasaan panggung dari tiga kali debat dengan tiga materi debat yang berbeda. Selanjutnya, masing-masing parameter diberi skor dengan range 1-10.

Walhasil, skor ditotal, kemudian dibagi dengan jumlah parameter untuk menghasilkan angka rata-rata.

Hasilnya:
JK 8,7
SBY 8,6
Mega 6,7

“Secara keseluruhan, JK tampil lebih menonjol selama debat antarcapres,” komentar Firmansyah.

JK dianggap paling logis dan kreatif menyampaikan pendapatnya selama debat. Kalla mendapat poin 8,85 sementara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 8,6, dan Megawati Soekarnoputri 6,1.

Untuk penguasaan panggung kategori body language (bahasa tubuh), JK juga unggul 8,85 atas SBY (8,15) dan Mega (6,55).

Untuk ketepatan waktu, SBY unggul 8,65 atas Kalla 8,45 dan Mega 5,9.

Bagi saya, tidak ada gunanya angka-angka itu secara praktis bila tidak dikaitkan dengan “kemampuan melaksanakan”, bukan sekadar “kemampuan mengatakan”. Banyak orang yang pintar berpidato, tapi tidak cakap mengeksekusi. Sebaliknya, banyak orang yang pintar mengeksekusi tapi tidak pintar berpidato. Idealnya: pintar pidato, pintar melaksanakan.

Saya menemukannya ketika tim akademisi itu menyampaikan cara berpikir mereka. Dari sisi logis (dalam arti apa yang disampaikan masuk akal, reachable, realistics), JK jagonya. SBY jago dalam soal penyampaian yang sistematis.

Cara berpikir SBY juga cenderungan “taat aturan” sedangkan JK cenderung mencari inovasi untuk mengurai benang kusut dan menyelesaikan masalah.

Mega? Tim akademisi menilai terlalu berpikir normatif.

Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa JK tidak hanya pintar bicara tapi punya potensi besar untuk pintar mengeksekusi. Bila dikaitkan dengan rekam jejak dia menyelesaikan kasus2 yang rumit seperti Aceh, Poso, dan Ambon, maka sangat jelas bahwa potensi mengeksekusi itu menjadi kenyataan.

Saya juga membaca tulisan Kompas mengenai psikologi para capres. Yang menonjol dari JK adalah kemampuannya melahirkan inovasi, cara baru (tentang bagaimana JK mengelola krisis dengan cara2 baru, lihat http://public.kompasiana.com/2009/06/16/aceh-dan-sinetron-jk/)

Pada posting sebelumnya mengenai gaya kepemimpinan JK, saya menulis:

“Konflik Aceh dianggap sebagai separatisme selama 30 tahun sebelum JK terjun ke Aceh dan mengatakan tidak, itu bukan masalah separatisme. Aceh, seperti juga Papua, adalah masalah ekonomi. Persisnya, masalah ketidakadilan ekonomi.

Poso dan Ambon oleh pemimpin lainnya dianggap sebagai masalah konflik agama. Di Ambon bahkan ditemukan elemen2 separatisme dalam kasus RMS.

JK tegas mengatakan tidak. Itu masalah ekonomi. Masalah ketidakadilan. JK menyelesaikan masalah itu, dan Ambon serta Poso aman sampai sekarang.”
http://public.kompasiana.com/2009/06/27/kepemimpinan-beda-j k-dari-sby/

Pada posting yang sama, juga ditulis:
“SBY pemimpin yang baik. Boediono adalah ahli ekonomi yang sudah teruji. Tapi, saya percaya, kedua pemimpin melihat masalah Indonesia dengan cara2 lama, karena itu akan menyelesaikannya pula dengan cara2 lama. Hasilnya sudah bisa ditebak.

Sementara JK akan mengelola dengan cara2 baru, yang hasilnya tentu akan melahirkan kejutan2. Itulah yang kita lihat dalam penyelesaian Aceh, Poso, Ambon, pembangunan infrastruktur, bahkan dalam proyek listrik 10 ribu MW.”

Banyak pemimpin dengan visi besar, tapi sedikit pemimpin dengan keterampilan mengeksekusi visi menjadi misi. Visi adalah apa yang kita ingin capai, sedangkan misi adalah cara mencapainya.

Ke dalam cara mencapainya itu dikenal prinsip SMART: Specific (spesifik), Measurable (terukur), Achiveable (dapat dicapai), Realistic (realistik, tidak mengawang-ngawang), Time (bound) atau ada jangka waktu.

Melihat apa yang sudah dicapai JK selama masuk di pemerintahan, saya percaya bahwa JK terbiasa dengan visi besar, tapi juga terbiasa dengan prinsip SMART.

Kita percaya bahwa Megawati memiliki visi sangat besar, tapi (mohon maaf, ini pendapat subyektif): saya agak ragu dia tahu cara mengeksekusinya.

Saya menulis pada posting sebelumnya:

“Terus terang, itulah yang membuat saya ragu bahwa SBY akan efektif tanpa JK. Banyak prestasi besar pemerintah, paling tidak menurut JK, yang lahir karena JK mengeksekusi keputusan, mengawal rencananya secara detail.”(http://public.kompasiana.com/2009/06/24/sby-jk-dan-ef ektivitas-kepemimpinan/)

Pada debat capres putaran kedua, JK mengingatkan SBY tentang suatu program. Sudah ada keppresnya, sudah ada timnya, tapi tidak jalan-jalan. Masalahnya bukan pada program, bukan pada tim, tapi pada level eksekusi.

Jadi, mestinya, JK tidak hanya menang di debat, tapi juga akan menang di level eksekusi.
Mari berdiskusi. Mohon maaf bagi yang kurang berkenan.

Salam Kompasiana

Mufida

No comments:

Post a Comment